free page hit counter
Home » Review Film Dokumenter “Luka Beta Rasa” : Luka dan Trauma Anak Karena Kekerasan

Review Film Dokumenter “Luka Beta Rasa” : Luka dan Trauma Anak Karena Kekerasan

Review Film Dokumenter “Luka Beta Rasa” : Luka dan Trauma Anak Karena Kekerasan

Luka Beta Rasa. Sebuah film dokumenter yang sudah dirilis sejak 11 Maret 2020 hasil kerjasama antara PUSAD Paramadina dan Narasi TV. Bercerita tentang Ronald Reagan, penyintas dalam perang saudara di Maluku sejak tahun 1999 hingga 2003.

Saat konflik rasial terjadi, Reagan masih berada di usia anak-anak. Ia bersama teman-teman seusianya dipaksa oleh kondisi untuk ikut terlibat perang saudara kala itu. 17 tahun pasca konflik, ia menemui beberapa penyintas konflik saat seusianya yang dulu terlibat dalam konflik rasial ini.

Luka Rasa 

Saat usianya 10 tahun, Reagan sendiri menjadi salah satu bagian dari tentara anak. Milisi yang terdiri dari anak-anak berusia mulai 9 hingga 13 tahun. Ia mengisahkan bagaimana ia bisa terjebak dalam suasana konflik. Karena ia sudah kehilangan keluarganya. “Mau mati hari ini pun atau besok sama saja”

Dan apa yang dilakukan anak-anak seusianya dikala konflik. Salah satunya adalah mengirimkan pasokan senjata ke daerah depan perang. Pasca konflik mereda, ia mengaku mulai sering didatangi melalui mimpi oleh para korbannya. Hal yang membuatnya merasa ketakutan, menyesal dan bersalah.

Dalam kunjungannya ke kota Jakarta, Reagan bertemu dengan Akbar. Salah satu temannya yang juga terpaksa terlibat dalam kerusuhan rasial itu. Setelah bertemu dengan Akbar dan berbicara sebentar, Akbar kemudian menyarankan untuk berbicara dengan Mutalib Nahumarury. Yang mampu lebih berbicara tentang cerita konflik yang dia alami. Mutalib yang akrab disapa Levi ini juga menceritakan pengalamannya saat saudara dan kakaknya tewas di hadapannya karena konflik.

Melupakan Ingatan

Pasca konflik rasial berkepanjangan, banyak para penyintas berusaha melupakan luka yang pernah dialami. Salah satunya adalah Reagan. Ia sendiri tengah berusaha melupakan apa yang ia pernah alami. Salah satunya adalah mengambil jalan sebagai provokator damai. Salah satunya melalui film ini, ia menemui berbagai kawan-kawannya untuk berbagi pesan bahwa tidak ada hasil yang indah dalam konflik.

Akbar, yang kini menetap di Jakarta menceritakan pengalamannya pasca konflik. Ia bersama kawan-kawannya saat masih remaja menjadi delegasi Maluku dalam kejuaraan sepakbola tingkat nasional di Jakarta. Setelah memenangi laga final tersebut, sambutan hangat datang dari penonton. Terutama penonton yang berasal dari Maluku dan tengah merantau di Jakarta. Banyak yang memeluk para pemain muda termasuk Akbar.

Akbar mengaku hampir tidak mengenali sebagian penonton yang memeluknya. Namun ia yakin salah satu diantaranya memiliki keyakinan agama yang berbeda.

“Saya rasakan inilah kehangatan perbedaan yang dirindukan sejak lama” ucapnya di lapangan bola tempat ia diwawancara oleh Reagan.

Salfatoris, kawan Reagan lain yang dikunjungi menyatakan salah satu alasannya merantau ke Jakarta adalah untuk mencari suasana baru. Serta menjauhi diri dari lingkungan pasca konflik yang mana menurutnya masih ‘panas’. Salfatoris tidak sendiri. Menurut Reagan, memang banyak korban konflik lebih memilih merantau. Jakarta menjadi salah satu tujuan para perantau karena menurut Reagan, Jakarta adalah kota heterogen yang mana perbedaan sudah biasa. Hal yang masa itu menurut Reagan berbeda sekali kondisinya dengan yang terjadi di Maluku.

Reagan berpendapat masih ada ribuan anak seusianya dahulu masih memiliki trauma batin yang dia alami. Menurutnya, bila hal ini dibiarkan akan menjadi sebuah bom waktu. “Bom yang bisa meledak kapan saja kalau kita biarkan”

Leave a Reply

Your email address will not be published.