free page hit counter
Home » Agama dan Penghayat Kepercayaan dalam Negara Demokrasi

Agama dan Penghayat Kepercayaan dalam Negara Demokrasi

Agama dan Penghayat Kepercayaan dalam Negara Demokrasi

75 tahun Indonesia menyatakan kemerdekaannya dengan sistem demokrasi. Ribuan pulau, keragaman dan kebudayaan menjadi tantangan tersendiri untuk menjaga keutuhan dan keadilan setiap warga negara termasuk dalam hal beragama. Tak bisa dipungkiri agama menjadi persoalan sensitif bagi siapapun buktinya begitu banyak narasi yang membuat kekacauan atas nama agama. Konflik beragama dan berkeyakinan di Indonesia tak kunjung usai hal ini menjadi sebuah kewajaran ketika melihat banyaknya keragaman di negara ini.

Ada lima konflik agama yang mengancam kedaulatan bangsa, kerusuhan antara umat kristen dan islam di Aceh tahun 2015, konflik Poso tahun 2000, konflik Tanjungbadai dengan tindakan perusakan 11 wihara dan 2 yayasan pada tahun 2016, konflik Sampang dengan adanya pembakaran dan perusakan dua rumah jamaah syi’ah dan mushola, lalu konflik papua yang berawal dari tuntutan persekutuan gereja-gereja di Jayapura untuk membongkar menara masjid Al Aqsha Setani karena menara tersebut terlalu tinggi ketimbang bangunan yang lain. Dilansir dari media Indonesiakininews.com pembakaran gereja capai angka 1.000 sangat ironi, akhir September lalu beredar adanya vandalisme dan perusakan Al-Qur’an di mushola daerah Tangerang dengan motif bahwa perlakuannya merupakan sebuah kebenaran.

Belum lagi masalah intoleran serta aksi-aksi lapangan yang di tunggangi maupun tidak dengan dalih agama. Kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia juga kurang sehat, selain enam agama besar yang diakui negara ada 180 aliran kepercayaan tingkat pusat dan 1.000 tingkat daerah (Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia).

Ada sejarah hitam mengenai eksistensi penghayat kepercayaan di Indonesia, tinta hitam ini mulai jelas di tulis oleh negara pada masa orde lama yakni, tidak adanya akses yang luas kepada aliran kepercayaan dalam hal ritual. Pemerintah justru membentuk badan pengawasan untuk aliran kepercayaan agar tidak memberontak dan membuat agama baru parahnya negara menganggap aliran kepercayaan ikut terlibat dalam pemberontakan G30/SPKI (komunisasi).

Pada masa itu juga aliran kepercayaan mendapat diskriminasi dengan pindah ke agama resmi untuk mendapatkan hak negara misalnya dalam hal pencatatan sipil atau pernikahan, pasalnya aliran kepercayaan tidak terdaftar dalam KTP. Menjadi kasus lucu ketika narasi hak asasi manusia sedang menguat. Padahal Indonesia menyatakan diri dengan lantang berideologi pancasila dimana warganya memiliki kebebasan agama dan berkeyakinan jika melihat pilar pertama yaitu ketuhanan yang maha esa.

Fenomena diatas sangat mengganggu demokrasi dimana masyarakat bebas untuk mejalankan hak dan kewajibannya, bahkan dalam pasal 29 UUD 1945 tercatat bahwa negara menjamin kebebasan kemerdekaan pendduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Selain itu keadilan dalam pelaksanaan peribadatan harus merata sesuai pilar pancasila ke lima.UUD dan pilar-pilar pancasila seolah-olah menjadi berita kebohongan yang besar bagi kelompok agama dan aliran penghayat kepercayaan di Indonesia, pasalnya masih banyak kasus intoleran yang terjadi di Indonesia.

Sedikit lega ketika terdengar kabar bahwa Presiden Jokowi mengesahkan PP Nomor 40 Tahun 2019 tentang pelaksanaan UU No.23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Bahwa di cacatan sipil tertulis sebagai aliran kepercayaan juga warga penganut aliran kepercyaan menikah sesuai dengan tradisi di hadapan pemuka aliran.

Indonesia menjadi negara yang penduduknya mayoritas beragama islam. Agama ini datang pada abad 7 M melalui perdangan jalur laut yang dibawa langsung oleh pedagang dari bangsa Arab. masuknya islam melalui pendekatan kebudayaan oleh walisongo membuat ajaran ini dengan sukses tersebar luas di Nusantara. Agama ini secara tidak langsung mengajarkan kita pentingnya toleransi, misalnya penggantian hewan sapi untuk berkurban dengan hewan kerbau di daerah kudus karena sapi merupakan hewan suci dalam ajaran hindu.

Bahkan dalam kitab suci agama ini mengatakan bahwa Tuhan mencipakan keberagaman, dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi, Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -bangsa  dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Sudah jelas bukan bahwa agama mayoritas yang harusnya sebagai pengayom mengajarkan toleransi.

Dalam agama islam ini ada seorang tokoh yang dianggap sebagai pengayom juga sebagai garda terdepan bagi kaum minoritas, Gus Dur panggilan akrabnya. Bahkan setelah beliau wafat anak dan keturunannya membuat jaringan gusdurian yang menyeluruh di Indonesia. jaringan ini terbentuk karena beliau wafat dan kelompok minoritas merasa kehilangan sosok bapak. beliau juga pernah mengatakan bahwa, islam datang bukan untuk mengubah leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk aku jadi ana, sampean jadi antum, sedulur jadi akhi. kita pertahankan milik kita, kita harus filtrasi budayanya, tapi bukan ajarannya. dan pada dasarnya setiap agama hadir bukan untuk menciptakan permusuhan melainkan perdamaian melalui toleransi karena tingkat tertinggi dalam beragama adalah kemanusiaan.

Lalu sudahkah kita mencontoh Gusdur dalam hal kemanusiaan?

Leave a Reply

Your email address will not be published.