free page hit counter
Home » Puasa dalam Tradisi Agama-Agama

Puasa dalam Tradisi Agama-Agama

Puasa dalam Tradisi Agama-Agama

Sobat damai, sebentar lagi umat Islam di seluruh dunia akan menjalankan ibadah puasa wajib di bulan suci Ramadhan. Bulan yang dipercaya merupakan momentum istimewa bagi umat Islam, di mana pada saat itu segala hal positif yang kita lakukan dengan landasan takwa, merupakan bagian daripada ibadah.

Tentang puasa wajib di bulan Ramadhan, Allah SWT telah berfirman dalam Q.S Al-baqarah ayat 183 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

Atau secara khusus disebut dalam Hadits Nabi Muhammad SAW, yang artinya:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Siapapun yang menjalankan puasa selama Ramadan karena keyakinan yang ikhlas dan berharap mendapatkan pahala dari Allah, maka semua dosanya di masa lalu akan diampuni,” (HR. Bukhari Muslim).

Dalam Islam, puasa merupakan rukun islam yang keempat. Puasa wajib dalam Islam adalah di bulan Ramadhan, sedangkan puasa-puasa lain sifatnya sunnah (pengecualian puasa Nazar yang merupakan sebuah janji, sehingga sifatnya wajib untuk ditepati).

Ternyata, puasa tidak hanya dimiliki oleh umat Islam saja. Agama-agama selain Islam, seperti Kristiani, Khonghucu, Hindu, Baha’i, dan Yahudi juga melaksanakan puasa.

Di dalam agama Kristiani, mereka menjalani masa puasa pra-Paskah dan pantang selama 40 hari dimulai dari Rabu Abu hingga Jumat Agung. Pantang dalam hal ini ialah menghindari makanan-makanan yang paling mereka sukai semisal daging. Saat berpuasa, mereka hanya bisa kenyang selama sekali dalam sehari.

Sedang dalam tradisi Yahudi, mereka melaksanakan puasa diantaranya pada tanggal 10 Tishri (Muharram), hari Sabat, upacara pernikahan (nuptial), dan Yom Kippur. Saat Yom Kippur, orang-orang Yahudi berpuasa selama 25 jam. Bagi mereka, puasa lebih dari sekadar menahan diri dari minum dan makan, tetapi juga tidak bekerja pada hari puasa, tidak diijinkan berhubungan seksual, mandi, hingga tidak menggunakan salep dan sepatu kulit.

Dalam tradisi Buddha, puasa disebut Uposatha, yang dilaksanakan biasanya dilaksanakan pada hari ke-8 paruh bulan, hari ke-14, dan hari ke-15 penanggalan Buddha. Namun pada perkembangan selanjutnya, puasa ini dilaksanakan setiap tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut perhitungan hari berdasarkan peredaran bulan.

Istilah Uposatha dapat diartikan sebagai berdiam dalam keluhuran (di vihāra), dalam arti kata pada saat hari Uposatha tiba para umat Buddha diharapkan melakukan beberapa kebajikan, seperti: menjunjung orangtua, menghormati para petapa dan brahmana, mengikuti puja bakti, bermeditasi, mendengarkan dan mendiskusikan Dhamma, dan melaksanakan delapan sīla (uposatha-Aṭṭhasīla/uposathasīla).

Ketika berpuasa, mereka tidak diperkenankan untuk makan namun masih boleh minum. Saat puasa, mereka juga menjalankan aturan uposatha-sila (delapan aturan), yaitu tidak membunuh, tidak mencuri, tidak melakukan kegiatan seksual, tidak berbohong, tidak makan pada siang hari hingga dini hari, tidak menonton hiburan, dan tidak memakai kosmetik, parfum, dan perhiasan.

Dalam agama Khonghucu, puasa atau Chai merupakan cara terbaik untuk mensucikan dan melatih diri, baik untuk menjaga perilaku, perkataan, dan agar dipenuhi cinta kasih. Sebagaimana tertulis dalam Kitab Kesusilaan (Li-Ji) XXII yang berbunyi: “Ketika tiba waktu menaikan sembahyang, seorang Susilawan akan bersuci diri dengan cara berpuasa lahir bathin.”

Puasa secara Rohani bagi mereka dilakukan terus menerus dengan wajib memegang teguh pada sikap yang membatasi diri terhadap 4 pantangan, yaitu “Tidak melihat yang tidak susila, tidak mendengar yang tidak susila, tidak membicarakan yang tidak susila, dan tidak melakukan yang tidak susila.” Sementara Puasa secara Jasmani, ada beberapa bentuk, diantaranya menjadi vegetarian secara berkala pada hari sembahyang tertentu, Berpantang makan daging secara permanen. Puasa penuh, tidak makan dan minum dari pagi sampai sore pada hari sebelum melakukan sembahyang besar.

Dalam tradisi Hinduisme di Indonesia, saat menyambut Tahun Baru Saka, mereka melaksanakan upacara Nyepi yang juga menjalankan pantangan yang mereka sebut sebagai “Catur Brata Penyepian”. Sebagaimana namanya, Catur Brata Penyepian terdiri dari 4 jenis pantangan, yakni Amati Geni (tidak menyalakan api/emosi/marah), Amati Karya (tidak beraktivitas fisik), Amati Lelungan (tidak bepergian), dan Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang).

Terakhir dalam tradisi Bahá’í, puasa dilaksanakan pada bulan ke-19 penanggalan Baha’i atau dalam kalender Badi’ yang terdiri dari 19 bulan dan masing-masing bulan terdiri dari 19 hari. Puasa mereka laksanakan selama satu bulan “Alá” yang berlangsung selama 1 bulan dan diakhiri dengan perayaan Tahun Baru Now-Ruz yang bertepatan dengan tanggal 21 Maret.

Puasa dalam agama Baha’i merupakan hal yang wajib, tujuan utamanya adalah untuk menyegarkan kembali jiwa spiritualitas mereka. Puasa ini hanya wajib bagi mereka yang sudah berusia 15 tahun ke atas. Saat puasa, mereka berpantang makan, minum, dan merokok. Sebagaimana dalam Islam ketika ada seseorang yang tidak sengaja makan pada saat puasa, maka puasanya tetap sah karena merupakan sebuah “kecelakaan”.

Demikianlah sekilas makna puasa dalam tradisi berbagai agama selain Islam. Pada prinsipnya, puasa adalah salah satu cara manusia dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, yakni dengan mensucikan diri baik secara lahiriyah maupun bathiniyah. Puasa tidak hanya menahan kuasa untuk makan atau minum, melainkan juga menahan hasrat untuk berbuat hal-hal tercela salah satunya seperti berkata kotor dan menyakiti sesamanya.

Selamat menyambut puasa di bulan suci Ramadhan!

Vinanda Febriani

Leave a Reply

Your email address will not be published.