free page hit counter
Home » Fatah: Diplomasi yang Menjadi Kunci Kemerdekaan Palestina

Fatah: Diplomasi yang Menjadi Kunci Kemerdekaan Palestina

Fatah: Diplomasi yang Menjadi Kunci Kemerdekaan Palestina

Setelah kemarin penulis membahas tentang Hamas, kali ini penulis akan membahas tentang Fatah. Salah satu partai dominan di Palestina selain Hamas. Untuk teman-teman yang belum membaca tulisan yang membahas soal Hamas, bisa dilihat disini.

Sekali lagi, penulis sangat mendukung kemerdekaan Palestina sebagai warga negara yang berdaulat.

Sejarah dan Ideologi Berdirinya Fatah

Yang menjadi unik, partai ini berdiri di Kuwait pada tahun 1959. Pendirian partai ini sendiri dipelopori oleh sekelompok pengungsi Palestina yang memiliki ideologi nasionalis sekuler. Karena ideologi ini, membuat partai politik Fatah lebih memilih jalan diplomasi di meja perundingan dengan Israel. Serta meminimalisir gerakan bersenjata. Yang mana cara ini bertolak belakang dengan cara Hamas.

Sekularisme atau ideologi sekular banyak diartikan sebagai paham yang menolak ekstensi pengaturan sakral yang berasal dari suatu agama. Sederhananya, ideologi ini memisahkan politik dengan agama atau dengan aspek lainnya. Pemahaman terhadap ideologi sekular tersebutlah yang membuat ideologi Islam tidak dapat menerima konsep sekular. Menurut filsuf Prancis, Auguste Comte berkembangnya pemikiran Sekularisme terjadi karena adanya modernisasi dalam gerakan politik.

Pergerakan Fatah

Pada awalnya, strategi pergerakan Fatah juga mengandalkan gerakan bersenjata sama halnya seperti yang dilakukan oleh Hamas. Namun, Fatah juga menempuh jalur diplomasi sebagai cara mereka untuk memperjuangkan Palestina. Fatah sendiri memang tidak sekeras Hamas yang sama sekali tidak mengakui adanya negara Israel. Fatah justru mengakui keberadaan negara Israel. Bahkan antara Israel dan Fatah sering melakukan perundingan.

Sebelum Fatah mengambil jalur diplomasi, dulu Fatah juga aktif dalam gerakan militer bersenjata. Gerakan militer bersenjata ini dinamai al-Asifah. Kelompok ini mulai aktif bergerak pada tahun 1965 dengan markasnya terdapat di Tepi Barat, Gaza, dan di beberapa negara Arab lainnya. Al-Asifah mengawali perjuangan mereka dengan melawan kependudukan Israel bahkan terlibat dalam perang Arab-Israel pada tahun 1967. Namun gerakan kelompok al-Asifah ini mengalami kegagalan setelah mereka terusir dari Yordania dan Lebanon. Kemudian mereka kembali mengalami pengusiran pada tahun 1970-an dan 1980-an.

Setelah beberapa kali mengalami kegagalan maka al-Asifah dibawah naungan Fatah melakukan perubahan strategi perjuangan mereka dengan memilih jalur diplomasi. Namun bukan tanpa alasan Fatah memutuskan untuk mengambil langkah diplomasi. Langkah jalur diplomasi tersebut juga didukung oleh negara-negara Arab. Terlebih setelah mereka terusir dari Beirut. Dengan demikian, maka Fatah melalui pemimpinnya yaitu Yasser Arafat menyatakan menghentikan dan bahkan mengumumkan gencatan senjata dan mendukung resolusi 242 Dewan Keamanan PBB yang isinya mengantarkan Palestina kepada kepemilikan wilayah di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza pada tahun 1967.

Pada tahun selanjutnya Fatah berhasil mengendalikan PLO dan Yasser Arafat terpilih menjadi Ketua Komite Eksekutif, kemudian PLO yang dipimpin oleh Arafat berhasil diakui oleh negara-negara Arab pada KTT Rabat, kemudian diakui oleh PBB dan Israel dalam deklarasi Oslo sebagai perwakilan sah tunggal rakyat Palestina, berbagai pencapaian tersebut membuat Fatah menjadi gerakan yang dominan di Palestina.

Tulisan ini menandai berakhirnya dua seri tulisan yang membahas dua gerakan besar untuk membebaskan Palestina. Selanjutnya, penulis berusaha menulis terkait bahwa di era tahun 1990an, Palestina dan Israel sempat berdamai. Namun ada yang mengganggu perdamaian ini sehingga konflik kembali pecah. Apa itu? Nantikan ya….

Leave a Reply

Your email address will not be published.