Bagaimana menempatkan agama dalam konteks keindonesiaan yang sangat multikultural adalah persoalan klasik yang sudah sering dibahas. Para founding father terdahulu telah terlibat perdebatan konstruktif mengenai dasar negara Indonesia. Apakah Indonesia dibentuk menjadi negara Islam atau sekuler dimana memberlakukan hukum secara universal dan impersonal bagi semua warga negaranya.
Menurut M. Dawam Raharjo seorang cendekiawan, dengan alasan persatuanlah dasar negara Indonesia akhirnya dibentuk menjadi negara sekuler. Yaitu tidak mengeksplisitkan “Islam” didalamnya. Tetapi tidak ada yang bisa membantah bahwa konflik agama Islam dan negara sekuler terus berkembang. Agama terus menerus merangsek di wilayah publik. Konflik memuncak pada awal reformasi ketika terjadi kerusuhan massal.
Ratusan gereja dan tempat etnis cina dibakar dan dirusak. Ketika membaca sejarah pada awal bulan Mei tahun 1998 kerusuhan yang dilatar belakangi SARA menewaskan lebih dari seribu orang diantaranya kerusuhan Timor-timor, Poso, Ambon, Sambas karena konflik agama. Dititik inilah agama sangat berperan dalam kehidupan publik. Belum lagi jargon-jargon partai politik yang dengan enteng membawa nama agama ke wilayah publik. Agama bahkan menjadi gerakan sosial.
Maraknya fenomena spiritual seperti radikalisme, terorisme adalah contoh ekspansi agama di ruang publik pada tingkat global. Perdebatan ini muncul bukan karena agama semakin terkucilkan tetapi justru menampakkan peranannya di ruang publik. Fenomena tersebut memang sangat sulit dihindari semua umat beragama untuk itu, peran agama di wilayah publik harus segera dirumuskan.
Di samping agama menjadi alat pemersatu bangsa, agama juga mampu menjadi sumber pertikaian dan perpecahan jika tidak dirumuskan dengan baik. Agama akan sangat membahayakan bila menjadi perdebatan dan pertikaian suatu golongan dimana dapat menjadikannya sebagai kekuatan absolut otoriter. Jika kekuatan agama menjadi absolut otoriter, tidak satu pun gerak-gerik setiap inci individu dapat luput dari kontrol kekuasaan atas dasar agama. Agama akan memegang kendali penuh setiap apa yang dilakukan dan dipikirkan individu untuk keselamatan dunia akhirat.
Persoalan sesungguhnya adalah eksistensi agama di ruang publik yang mampu menimbulkan klaim iman bagi penganutnya. Klaim iman yang seharusnya menjadi daerah privasi setiap individu, tetapi justru menjadi konsumsi publik. Jika kebenaran sebuah iman dipakai pada norma publik, iman yang diselewengkan secara ideologis akan memberangus pikiran.
Tentunya hal ini menimbulkan paradoks dalam dirinya sendiri; ia mencurigai pikiran yang lain namun ia sendiri adalah hasil sebuah pikiran dengan kata lain pikiran bisa membunuh pikiran lain. Buah yang dapat dituai adalah sebuah pikiran antara “iman kita dan iman mereka” dimana dapat menimbulkan pertentangan dan konflik massa. Inilah yang sangat melatarbelakangi terjadinya fenomena spiritual. Seperti radikalisme, terorisme atau fenomena khilafah yang dinilai sangat ideal untuk sistem negara dan pemerintahan.
Sistem khilafah di zaman Rasulullah dan para sahabatnya memang sangat baik dan patut dijadikan pedoman. Tetapi bukan menjadi tolak ukur untuk negara Indonesia yang multikultural. Jika sistem ini diterapkan maka hukum negara, hanya akan bersifat personal yaitu hanya berlaku kepada yang meyakininya saja bukan bersifat universal. Akibatnya yang tidak menganut keyakinan tersebut akan memberontak dan melakukan perlawanan. Sedangkan hukum negara harus bersifat impersonal dan universal dimana memperlakukan kesamaan tanpa memandang SARA dan memiliki persamaan di depan hukum. Untuk itulah dasar negara dibuat dengan tidak mengeksplisitkan “Islam” didalamnya.
Lusi Hanasari
Alumni Universitas Islam Lamongan, Seorang perindu petrichor
Leave a Reply