free page hit counter
Home » Melepaskan Jerat Perkawinan Anak

Melepaskan Jerat Perkawinan Anak

Melepaskan Jerat Perkawinan Anak

“Duh, capek banget. Pengen nikah aja!”, kalimat tersebut sering saya dengarkan dari para pelajar ketika kesulitan mengerjakan tugas sekolahnya. Latah yang diucapkan oleh para remaja tersebut harus segera dihentikan sebelum berimbas buruk, seperti menormalisasi perkawinan anak.

“Halah, wong cuma guyonan. Kok serius amat?” Wah iya, serius dong karena angka perkawinan anak di Indonesia merupakan yang tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Kamboja. (Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, 2016). Apalagi, angka perkawinan anak di Indonesia terus naik di kala pandemi Covid-19 ini.

Oiya, perkawinan anak merupakan perkawinan yang terjadi pada anak laki-laki, maupun perempuan di bawah usia 19 tahun, menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Penyebab perkawinan anak sangatlah kompleks, yaitu masalah ekonomi, kehamilan yang tidak direncanakan, adat di suatu daerah, pernikahan antara korban dan pelaku pemerkosaan, rendahnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi, bahkan kampanye nikah muda yang digaungkan oleh para influencer di sosial media. Ah, menyebalkan sekali!

Katanya sih, untuk menghindari zina dan merupakan sebuah ibadah yang panjang. Saya nggak setuju. Cara menghindari zina ya dengan mengontrol diri, bukan dengan tergesa-gesa menikah. Selain itu, bagaimana bisa dikatakan ibadah, jika tidak bahagia dan malah menimbulkan berbagai masalah? Banyak kecacatan dalam berpikir yang perlu kita luruskan. Perkawinan anak sendiri memiliki setumpuk akibat, seperti terjadi gangguan kesehatan reproduksi, sulit untuk bersekolah, hilangnya waktu bermain, mental yang belum siap, kekerasan dalam rumah tangga, bahkan ditelantarkan. Kacau sekali, kan?

Sudahlah, jangan mudah kepincut dengan iming-iming nikah muda yang dipertunjukkan oleh influncer di panggung sosial medianya. Selain itu, untuk menghentikan perkawinan anak, yang perlu dilakukan adalah menolak dispensasi perkawinan usia anak, memberikan materi kesehatan reproduksi, dan risiko perkawinan anak dalam kurikulum pendidikan nasional. (Jurnal Perempuan, 2019). Yuk, berpikir kritis dan senantiasa mengedukasi diri setiap hari!

Lena Sutanti

Leave a Reply

Your email address will not be published.