Banyak hal dapat menggambarkan keberagaman yang terkandung dalam ibu badan kampus sebagai ruang ilmu dunia. Baik ditinjau dari aspek latar belakang individu, wilayah, kebudayaan, bahasa hingga agama. Aspek kepercayaan yang dianutlah, yang menjadi hal utama paling melekat pada setiap individu. Sehingga kondisi tersebut berkaitan erat dengan fasilitas rumah ibadah. Terkadang keberadaan fasiltas tempat ibadah menjadi salah satu indikator tolak ukur perguruan tinggi tersebut sudah membangun iklim akademik yang plural dan toleran atau tidak.
Penulis berikan gambaran keberagaman dalam penyediaan rumah ibadah di dalam dua perguruan tinggi besar di Jawa Tengah, yaitu di Universitas Negeri Semarang (UNNES) dan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Solo. Ketika berkunjung ke UNNES kita akan menjupai masjid sebagai tempat ibadah untuk mahasiswa muslim dan belum ada gereja atau bagunan rumah ibadah lainnya untuk mahasiswa nonmuslim di dalam kampus. Berbeda halnya dengan kondisi di UNS, Solo disana kita dapat menjumpai tempat ibadah dari enam agama di Indonesia yang disedikan pihak kampus untuk mahasiswa yang dinamakan dengan “Benteng Pancasila”. Contoh di atas menggambarkan dua potret yang cukup berbeda, atau mungkin keberagaman tersebut dibangun dari perspektif yang berbeda.
Tetapi, perhatian terhadap fasilitas dan kondisi keberagaman seluruh masyarakat kampus perlu digaris bawahi oleh para pimpinan birokrasi di universitas seluruh Indonesia. Perguruan tinggi semestinya mampu menangkap peluang dan berniat memberikan standing position untuk menjadikan iklim rumah belajar sebagai “Laboratorium Keberagamaan” yang lebih toleran, mencetak generasi yang lebih mencintai keberagaman serta menangkal susupan paham-paham intoleran maupun extrimis yang merebak dan menjadi rahasia umum di kehidupan kampus.
Merawat laboratorium keberagaman agar tetap ramah
Pimpinan birokrasi kampus seharusnya mampu melakukan beberapa tindakan berikut, memberikan ruang fasilitas-fasiltas rumah ibadah, pengawasan akan fungsinya, merupakan salah satu indikator pendukung persatuan dan pencegahan terjadinya tindakan amoral di dalam kampus. Kemudian, memberikan pengawasan yang lebih ketat terhadap ormas yang akan masuk dan beraktivitas di dalam lingkungan hidup kampus. Jangan sampai menyalahi nilai-nilai keberagaman yang harus dijunjung tinggi oleh perguruan tinggi.
Apalagi memberikan peluang besar kepada organisasi masyarakat yang menentang keberagaman tersebut dan khususnya menyasar pada program studi eksata. Seperti yang dikemukakan intelektual Nahdhatul Ulama (NU), Ketua Pengurus Cabang NU Jember KH Abdullah Syamsul Arifin atau Gus Aab menilai (kalangan mahasiswa eksata) banyak mendapatkan transformasi keilmuan di bidang agama lebih pada proses instan, seperti e-learning atau halaqoh, yang tidak berangkat dari dasar pengetahuan itu sendiri yang banyak dipelajari di pesantren. Tentu apabila dibiarkan akan membahayakan kehidupan sosial pendidikan di kampus.
Selain itu, pihak kampus juga seharusnya mengawasi penyebaran ideologi tertentu yang berkembang di lingkungan kampus, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar negara yakni Empat Pilar Kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI). Kampus harus bersih dari organisasi keormasan, haruslah netral, menjunjung nilai dan tidak sentral pada agama atau ideologi tertentu.
Oleh karena itu, birokrasi kampus harus mendeteksi potensi dan mencegah tindakan amoral, paham intoleran, radikal yang muncul di lingkungan kampus baik secara daring maupun luring. Hal itu sudah menjadi kewajiban kampus karena berkaitan dengan kebebasan akademik untuk mengembangkan intelektualitas. Sulistyowati Irianto dalam Otonomi Perguruan Tinggi Suatu Keniscayaan (2012:128), menyatakan kebebasan akademik hanya bisa diperoleh dalam universitas yang otonom.
Memperbanyak kegiatan diskusi akademik, seperti seminar kebangsaan, dikusi ilmiah, sarasehan budaya, kelas kursus pengembangan diri, diskusi beasiswa, kelas bahasa dan lainnya yang saat ini dapat diakses gratis secara daring atau luring seperti kegiatan biasanya sebelum pandemi. Mahasiswa harus memiliki pemikiran yang lebih luas, terbuka dan tidak hanya semata-mata berorientasi pada ideologi tertentu, tidak mudah terombang-ambing apalagi tersulut polemik yang sengaja diciptakan pihak tertentu.
Karena sesungguhnya mahasiswa adalah bagian potret “laboratorium keberagaman” dalam mencegah segala bentuk tindakan intoleran di kampus yang tidak memihak pada unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan. Di dalam kampuslah potret ideal kehidupan berbangsa, dan bernegara itu ada. Dari kampuslah nampak masyarakat Indonesia yang plural, dengan berbagai kekayaan dan keanekaragaman budaya, agama, bahasa hingga suku bangsanya. Tanpa adanya semangat peran mahasiswa, mungkin reformasi masih menjadi mimpi.
Mahasiswalah yang nanti akan mendominasi seluruh kegiatan berakademik, politik, ekonomi, sosial budaya masyarakat, bahkan ketahanan negara dalam menghadapi ancaman pemecah kebhinekaan. (R.T.J.)
Leave a Reply