Aksi terorisme selama kurun waktu 19 tahu terakhir memang terus menurun. Namun, penyebaran pemahaman dan ideologi radikalisme semakin masif. Mengutip dari laporan Mabes Polri, aksi terorisme di Indonesia mulai meningkat sejak tahun 1996. Saat itu, tercatat 65 kasus insiden terorisme, kemudian aksi terorisme memuncak pada tahun 2001 dengan salah satu aksi terorismenya adalah Bom Bali. Setelah itu aksi terorisme mulai terus menurun. Tercatat tahun 2018 terdapat 19 kejadian dan pada tahun 2019 terdapat delapan kejadian.
Hal ini menandakan bahwa peran alat negara yakni Polisi, BNPT, dan TNI mampu mengurangi aksi terror. Sinergritas antar aparatur keamanan negara tersebut mampu menekan adanya aksi terorisme. Selain itu, kesigapan dalam proses pengawasan dan penangkapan terduga pelaku teroris juga perlu diapresiasi. Kemampuan Polisi, BNPT, dan TNI menemukan markas persembunyian terduga terorisme sebelum melakukan aksinya dan melakukan peringkusan pelaku teror membuat masyarakat semakin yakin bahwa alat negara ini layak dalam hal penanggulangan terorisme.
Menurunnya aksi teror di Indonesia bukan berarti sebagai tanda bahwa negara ini sudah aman akan bahaya terorisme. Seiring perkembangan jaman, aksi terorisme ini juga merambat berkembang melalui perkembangan teknologi dan komunikasi. Paham intoleransi dan radikalisme yang merupakan embrio aksi terorisme yang mereka sebarkan. Gunanya untuk meracuni pada pengguna dunia maya dengan paham-paham bahaya radikalisme.
Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya, Rachmat Kriyantono, PhD mengatakan bahwa peningkatan paham radikalisme itu salah satunya dipicu oleh factor komunikasi. Jaman tradisional dulu, penyebaran paham radikalisme dan terorisme banyak menggunakan metode face to face atau menggunakan brosur yang disebarkan ke kelompok-kelompok ilmu. Namun, seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi dan komunikasi juga dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk menyebarkan paham dan ideologinya.
Media sosial yang banyak digandrungi oleh banyak masyarakat pada umumnya dan terkhusus generasi muda menjadi salah satu media paling banyak ditemukan penyebaran paham radikalisme dan terorisme. Biasanya pelaku radikal menyebarkan narasi-narasi yang bernuansa intoleransi, provokasi dan hoax untuk memperkeruh suasana media sosial Indonesia.
The Family Muslim Cyber Army (MCA) dan Saracen merupakan contoh kelompok radikal yang sering menyebarkan isu provokasi dan kabar bohong terkait isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) melalui jaringan komunikasi media sosial. Anggota dari dua kelompok ini cukup banyak dan mengelola ratusan akun media sosial fiktif untuk menyebarkan paham radikalisme dan terorisme di media sosial. Sasaran dari kelompok ini adalah kalangan generasi muda. Generasi muda lebih mudah diprovokasi dan kemungkinan untuk direkrut sebagai anggota kelompok radikal dan teror juga cukup potensial. Sehingga sudah seharusnya kalangan muda lebih bisa selektif dan bijak dalam menggunakan media sosial mereka.
Cara menanggulangi radikalime di media sosial
Rachmat memberikan beberapa kiat kepada generasi muda dalam menanggulangi penyebaran paham radikalisme di media sosial.
Pertama, Pendidikan literasi bermedia sosial perlu ditingkatkan. Perkembangan media sosial yang semakin pesat perlu juga diimbangi dengan literasi media sosial. Ditambah lagi keterbukaan informasi juga membuat masyarakat lebih mudah mencari dan membuka berbagai informasi. Hal ini akan menjadi berbahaya apabila masyarakat kurang mendapatkan Pendidikan bijak bermedia sosial, sehingga mereka akan memanfaatkan media sosial dengan kurang bijak.
Kedua, pemblokiran situs radikal. Langkah ini merupakan langkah yang hanya pemerintah yang bisa melakukannya. Akan tetapi, sebagai generasi muda yang melek media sosial bisa membantu dengan melaporkan situs-situs yang mengandung konten radikal dan teror ke panel pelaporan yang disediakan oleh pemerintah.
Ketiga, meningkatkan komunikasi lokal dalam beragama.
Keempat, pemberlakuan kurikulum Pendidikan agama yang lebih diarahkan pada perwujudkan nilai-nilai kemanusiaan dan menghubungkan dengan nilai Pancasila.
Kelima, kesadaran elit politik akan pentingnya penanggulangan radikalisme dan terorisme. Penyebaran paham radikalisme dan terorisme di Indonesia bisa dicegah dengan meneguhkan moderasi Islam di Indonesia. Dimana semua masyarakatnya menanamkan jiwa nasionalisme, berpikiran terbuka dan toleransi, tidak mudah terprovokasi oleh hasutan maupun informasi hoax, serta melakukan jejaring denga kelompok-kelompok yang positif.
Leave a Reply