Pada bulan April tahun 2015 Presiden Joko Widodo telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan hari santri ini dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi terhadap kalangan santri dan juga tidak terlepas dari peran para kiai atas segala dedikasi yang telah diberikan kepada Indonesia. Jika pada tanggal 22 Oktober 1945 menjadi peristiwa penting bagi negeri ini karena adanya revolusi jihad yang mana santri menjadi penggerak untuk kemerdekaan pada masa itu, maka tugas santri milenial adalah menjaga perjuangan para pendahulu dengan sebaik mungkin, di era milenial sekarang ini pertanyaannya adalah sejauh mana santri menjadi motor perdamaian?
Sebagai seorang yang pernah ‘mondok’ di pesantren, penulis menyimpulkan tantangan yang harus dihadapi sekarang adalah bagaimana pemahaman keagamaan seorang santri yang moderat harus dikedepankan dengan harapan tercipta lingkungan yang penuh toleransi dan perdamaian, sehingga pengajaran yang berbau radikalisme dapat terminimalisir, karena pelaku terorisme bermula bukan karena salah agama akan tetapi pada pemahaman agama yang salah.
Pondok pesantren sebagai pusat studi agama Islam seyogyanya menjaga rasa solidaritas, tenggang rasa, dan kebersamaan dalam membangun perdamaian bangsa dan negeri ini, karakter pendidikan pesantren yang komunal, integral, dan futuristik. Artinya dipondok pesantren pendidikannya sudah begitu komprehensif karena para santri memperoleh piwulang/ pengajaran yang integral dari soal moral sampai keterampilan hidup (life skill).
Dalam konteks era milenial saat ini, santri dituntut selektif memilih dan menentukan guru yang dapat mengarahkannya pada kebaikan, khusunya bagi santri dan umumnya kepada negeri ini. Karena mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam, termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam, niat inilah dulu yang digelorakan saat revolusi jihad berlangsung dan semestinya tidak boleh dilupakan oleh santri milenial.
Alasannya adalah bagaimana kita melihat sekarang ini banyak guru, ustadz, atau kiai yang tidak menampakkan ajaran Islam yang moderat, bahkan cenderung intoleran terhadap golongan Islam yang tidak sepaham dengannya atau umat agama lain, atau bahkan lebih parah lagi mengajarkan radikalisme. Ustadz atau kiai semacam ini seringkali menyesatkan atau mengkafirkan orang lain yang tidak bersepaham dengannya. Sekali lagi, santri milenial harus mewaspadai kiai semacam ini.
Karena peran santri milenial jauh lebih berat dari pada santri zaman dahulu, hal ini relevan dengan pandangan Salah satu dosen agama Universitas Airlangga (UNAIR), Ahmad Syauqi, S.Hum., M.Si., yang menjelaskan bahwasanya santri milenial adalah santri yang hidup di era milenial yang serba cepat, praktis, dan terkoneksi dengan dunia internet. Menurutnya, di era revolusi industri saat ini santri milenial harus mampu ikut andil dalam perkembangan zaman demi kemajuan peradaban, santri harus lebih mampu berperan pro-aktif sebagai penyedia informasi tentang keagamaan Islam yang moderat, dan di sisi lain juga sebagai media syiar dalam konteks Islam.
Santri sekarang harus sadar akan perannya sebagai agent of change in society karena seorang santri tidak hanya menuntut ilmu dan kemudian menetap dalam pondok pesantren, ada tanggung jawab dipunggungnya yang harus di implementasikan dalam kehidupan masyarakat, santri semestinya dapat mengambil manfaat dengan adanya media sosial sebagai ladang berdakwah dan juga sebagai sarana untuk menyebar luaskan narasi-narasi positif tentang agama Islam yang rahmatan lil alamin, yaitu agama yang senantiasa membawa perdamaian terhadap alam semesta.
Selamat hari santri nasional tahun 2020, santri sehat Indonesia sehat
Oleh : Slamet Ginanjar
Leave a Reply