Hai Sahabat Duta Damai, kita semua tahu bahwa kehidupan didunia ini tidak selalu berjalan mulus. Terkadang, ada saja hal-hal yang sebenarnya tidak kita inginkan tetapi itu semua terjadi, salah satunya adalah konflik. Entah itu konflik dengan diri sendiri atau konfilk dengan seseorang ataupun kelompok.
Tapi pernah enggak sih, temen-temen berpikir tentang bagaimana cara negara kita ini mengelola konflik? Kita bisa melihatnya dari berbagai sejarah kita di masa lampau, tentang bagaimana bangsa kita mengelola konflik. Indonesia mempunyai banyak sekali keanekaragaman. Yang mana perbedaan biasanya menjadi potensi dari suatu konflik. Tetapi untungnya, budaya kita yang sudah menjadi turun temurun ini menjadikan bangsa kita menjadi bangsa yang cinta damai dan welas asih.
Misalnya budaya bermusyawarah dengan duduk dan makan bersama. Budaya ini sering digunakan orang Indonesia terutama orang Jawa untuk menyelesaikan suatu permasalahan dengan asas kekeluargaan. Karena ketika kita makan bersama dan duduk degan tenang akan lebih mencairkan suasana, emosi terkontrol dan dapat berpikir lebih jernih. Meminimalisir melakukan tindakan kasar seperti menggebrak meja, karena tentunya hal tersebut tidak sopan.
Konflik bisa dilatar belakangi oleh berbagai hal. Seperti halnya faktor ekonomi yang sering kali ditemui dan menjadi faktor berbagai tindakan. Faktor ekonomi yang tidak stabil menjadi latar belakang adanya kemiskinan. Tidak hanya itu faktor lain yang mendukung adanya konflik ialah ketidakadilan. Karena sejatinya kedamaiannya hanyalah ruang kosong apabila keadilan tidak ditegakkan. Keadilan yang tegak membuat setiap orang tidak saling berpihak namun hanya berpihak pada satu titik yaitu titik adil.
Sahabat Damai, bangsa Indonesa pun harus belajar dari konflik-konflik besar dan berdarah yang telah terjadi di negara lain. Selain itu bangsa ini harus membaca kondisi di mayarakat terkait keberadaan potensi konflik. Apalagi isu-isu agama yang sering dikembangkan dan sengaja diangkat untuk mengadu domba. Padahal, awalnya antar sesama umat di tengah masyarakat tidak ada masalah yang berarti. Namun, dengan adanya isu agama juga malah membuat antar kelompok kepentingan saling mengkafirkan.
Inilah sebabnya, mengapa mayoritas ulama-ulama Indonesia sangat menghindari kata kafir ataupun mewanti-wanti untuk tidak memfonis kafir kepada seseorang, terutama kepada mereka yang hanya berbeda pemahaman dalam berislam. Karena jika kata kafir itu sudah jadi ajang vonis, biasanya kata-kata terakhir setelah kata kafir itu adalah halal darahnya.
Kemudian, mari kita sedikit melihat bagaimana Indonesia menyelesaikan setiap konfliknya. Budaya kita mengajarkan kepada kita agar tepo sliro, mengajarakan menghormati orang-orang yang berbeda dengan kita, gotong royong, musyawarah, dan lain sebagainya. Tanpa disadari, hal-hal itu menjadikan bangsa kita mempunyai karakter untuk mengedepankan kemanusiaan dan kedamaian daripada peperangan.
Tetapi tidak bisa dipungkiri mengenai sejarah bangsa kita, pernah terjadi beberapa konflik berdarah yang sudah terjadi dimasa lampau. Tetapi hal itu tidak bisa menjadi label bahwa bangsa kita suka dengan peperangan. Itu hanya semacam kecelakaan sejarah yang sama sekali tidak mencerminkan budaya kita.
Dan mengenai bergesekan antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, itu akan selalu ada. Tetapi yang selalu menjadi sorotan adalah penyelesaianya, karena itu menjadi kunci dari seberapa berbudayanya masyarakat kita.
Kita tahu, bagaimana saat Presiden ke 4 Indonesia, Gus Dur dilengserkan. Setelah itu, hanya adu statment, adu gagasan dimedia tanpa ada pertumpahan darah. Jika hanya adu statment dimedia, adu klaim, itu adalah sesuatu hal yang biasa. Tetapi mari kita lihat jika hal itu terjadi di Timur Tengah, berapa korban jiwa yang akan dikorbankan karena kekuasaan?
Budaya adu pendapat dan argumen, adu klaim, rasa-rasan (Bergunjing) adalah hal yang ringan daripada budaya saling kafir mengkafirkan dan ujung-ujungnya saling bunuh membunuh karena merasa membela kebenaran. Apalagi hal itu dilandaskan demi kekuasaan dunia.
Mari kita lestarikan budaya kita, kita kedepankan berdiskusi kritis dan kreatif daripada gempalan tangan. Jika kedamian sudah masuk kedalam diri kita, maka kita akan melihat Dunia dipenuhi dengan Rahmat Tuhan YME. Yoga/RT. Jannah/FP
Leave a Reply