Damai merupakan keadaan yang dicita-citakan oleh banyak orang, bahkan semua orang butuh akan perdamaian. Seperti yang kita ketahui bahwasanya “Damai Itu Indah” , selogan yang berbunyi demikian ini tentu sudah tidak asing di telinga kita. Damai memiliki banyak makna. damai dapat dimaknai sebagai sebuah keadaan tenang dan juga dapat menggambarkan keadaan emosi dalam diri. Maka penting kiranya semua orang menyadari betapa pentingnya perdamaian dan juga ketenangan bagi kehidupan kita. Karena Memelihara perdamaian di dalam kontek negara ke-Indonesia tentu tidak semudah membalikan telapak tangan, karena kita harus dipertemukan dengan berbagai perbedaan yang ada mulai dari agama, suku, ras dan juga antar golongan, jika narasi-narasi perdamaian tidak lagi diyakini sebagai kebutuhan lambat laun akan mengikis kesatuan dan juga persatuan negara Indonesia itu sendiri.
Berbicara mengenai hidup dan tradisi budaya damai, Jika kita mengacu pada deklarasi PBB (1998) menyatakan bahwasanya budaya damai adalah seperangkat nilai, sikap, tradisi,cara-cara berperilaku dan jalan hidup yang merefleksikan dan menginspirasi :
Pertama, Respek terhadap hidup dan hak asasi manusia. Kedua, Penolakan terhadap semua kekerasan dalam segala bentuknya dan komitmen untuk mencegah konflik kekerasan dengan memecahkan akar penyebab melalui dialog dan negosiasi. Ketiga, Komitmen untuk berpartisipasi penuh dalam proses pemenuhan kebutuhan untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Dalam memelihara perdamaian yang demikian menurut hemat saya juga memerlukan beberapa aspek,baik dari dalam maupun dari luar. Dari dalam meliputi dorongan diri sendiri untuk berperilaku damai, sedangkan dari luar adalah hal-hal yang mempengaruhi. Mengapa demikian? Ada faktor-faktor yang berpotensi dapat mempengaruhi seseorang bersikap anarkis dan radikal. Seperti pemberitaan-pemberitaan yang tidak independen dan akurat, kecanggihan teknologi untuk memprovokasi dan lain sebagainya. Akhir-akhir ini, kekerasan tampaknya kian akrab dalam kehidupan masyarakat kita. Hal itu ditandai dengan semakin meningkatnya beragam bentuk kekerasan, mulai dari konflik sosial,tawuran antar kampung atau antarsuku, geng motor,perkelahian pelajar hingga kekerasan dalam rumah tangga. Kenyataan ini menandakan semakin memudarnya semangat perdamaian dalam kehidupan.
Akan tetapi, Seperti yang kita lihat saat ini kondisi dengan kondisi yang ada saat rasa-rasanya perdamaian kita tengah diuji. Hal yang demikian ini di tunjukkan dengan melihat maraknya kasus intoleransi yang sering terjadi di beberapa tempat. Menurut laporan Komnas HAM sebagaimana dilansir VOA Indonesia, kasus intoleransi berlatar agama terus meningkat. Pada 2014, ia mencapai 74 kasus, terus meningkat menjadi 87 kasus pada 2015, dan akhirnya mencapai angka hampir 100 pada 2016. Yang cukup populer dan mencengangkan belakangan ini, tentu saja adalah polemik diusirnya seorang seniman dari sebuah desa di Bantul. Belakangan, diketahui bahwa ia ditolak tinggal di desa bersangkutan karena ia beragama Katolik. Sementara itu, masyarakat setempat telah membuat aturan tak tertulis bahwa hanya Muslim yang berhak mendiami desa tersebut.
Ada banyak faktor yang menjadi penyebab, tergantung dari sudut pandang mana yang dipergunakan untuk memahaminya. Tidak mudah untuk mengurai dari berbagai faktor yang ada karena masing-masing faktor saling memiliki keterkaitan. Namun satu hal mendasar yang harus dilakukan adalah bagaimana menghentikan, atau paling tidak mengurangi, agar kekerasan tidak semakin berkembang. Tanpa adanya usaha pencegahan, kekerasan akan semakin meluas dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sosial kemasyarakatan.
Dalam ruang lingkup ke Indonesiaan tentu tidak dapat dipisahkan dari agama Islam, agama bagi mayoritas masyarakat Indonesia itu sendiri. bahwasnya perlu di ketahui bagi kita sebagai orang Islam bahwasanya perdamaian merupakan keteladanan yang dipraktikkan oleh nabi Muhammad saw karena perdamaian merupakan salah satu bentuk ukuran tingginya peradaban manusia. Selain itu, sebenarnya dari kata Islam itu sendiri berarti kepatuhan diri (submission) kepada Tuhan dan perdamaian (peace). Oleh karena itu perdamaian sebenarnya merupakan inti dari agama dan relasi sosial. Menolak perdamaian merupakan sikap yang bisa dikategorikan sebagai menolak esensi agama dan kemanusiaan.
Di dalam al-Qur’an sendiri telah tegas dijelaskan bahwa Allah swt. sangat menganjurkan hidup damai, harmonis dan dinamis di antara umat manusia tanpa memandang agama, bahasa dan ras mereka. Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim (al-Mumtahanah 8-9).
Dalam hal ke-Indonesiaan tentu tidak hanya agama islam saja yang menjadi bahan dan sentral perdamaian, kita juga wajib untuk menghormati keberadaan agama lain dengan penuh kasih saying, karena di Indonesia masih ada 4 agama yang juga mencita-citakan hidup dengan penuh kedamaian sebagai bentuk prinsip yang harus diutamakan. Maka perlu kiranya untuk kemudian Imam al-Syaukani dalam kitabnya Fathul Qadir mengatakan bahwa maksud ayat al-Mumtahanah ayat 8-9 ini adalah Allah tidak melarang berbuat baik kepada kafir dzimmi, yaitu non muslim yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam menghindari peperangan dan tidak membantu orang non muslim lainnya dalam memerangi umat Islam.
Dengan demikian pada akhirnya budaya damai itu adalah damai yang nyata dalam kehidupan sehari-hari dan telah terealisasi dengan baik tanpa harus dicita-citakan kembali, tugas dan peran kita adalah memikirkan bagaiamana mempertahankan kehidupan yang damai itu sendiri.
Leave a Reply