Apa yang terlintas di benak anda, saat saya menyebut Wonosobo. Dieng? Carica? Dingin? atau Mie Ongklok? Yaelah, kalau gak makanan kok wisata yang diinget. Padahal kalau mau diulik, masih ada hal menarik yang kita pelajari. Salah satunya adalah bagaimana cara komunikasi mereka kok bisa adem.
Oh iya, tulisan ini saya ambil berdasarkan pengalaman saya selama Kuliah Kerja Ngebucin Nyata (KKN) dari kampus ya. Kalau memang ada yang kurang, bisa tambahkan komentar di kolom ya.
Oke kembali ke topik, pemikiran saya tentang komunikasi adem ala orang Wonosobo berawal dari cerita. Pada suatu malam di posko KKN, teman sekelompok KKN menonton siaran bola tengah malam di TV. Saya sendiri? Tidak ikut nonton, karena sudah kadung nyaman rebahan di pulau kapuk. Oh omong-omong posko KKN saya ‘menumpang’ ke rumah warga yang juga tinggal disitu selama kelompok kami KKN. Saat tim kesayangannya mencetak gol, teman saya ini berteriak cukup keras.
Tak lama pasca teriakan teman saya itu, si empunya rumah yang tengah bekerja di kamarnya merespon dengan jawaban yang tidak terduga. “Nek bengok dibatin wae Mas” dengan nada yang juga keras, namun masih dibawah teriakan teman saya tadi. Makna respon si pemilik rumah kurang lebih berarti “Kalau teriak di dalam hati aja mas”.
Saya yang hampir terbawa ke alam mimpi, kembali ke dunia nyata karena memikirkan respon si pemilik rumah ini. Pikir saya, apakah orang Wonosobo memang cukup ‘ramah’ dan jeli dalam berkomunikasi agar tidak bikin sakit hati?
Pasca kejadian tersebut, saya mulai mengamati bagaimana pola komunikasi orang Wonosobo. Baik ke sesama orang Wonosobo, maupun orang dari luar wilayah seperti saya. Walaupun saya hanya dapat mengamati secara terbatas di beberapa wilayah saja. Yang kemudian saya tambahkan dengan pengamatan saya terhadap kenalan saya yang berasal dari Wonosobo. Bagaimana hasilnya?
Temuan Yang Dapat Jadi Teladan
Temuan saya dapat disimpulkan seperti judul. Komunikasi orang Wonosobo itu memang bikin adem. Bagaimana mereka memilih kata dalam komunikasi, bahasa tubuh, dan minimnya penggunaan kata yang dianggap tak sopan apalagi kata kasar. Hampir tidak saya temukan pisuhan yang biasanya jadi bumbu komunikasi dalam pertongkrongan anak muda. Pemilihan kata mereka dalam berkomunikasi juga berhati-hati. Agar yang diajak mengobrol tidak tersinggung.
Contohnya seperti sang empu rumah posko KKN kelompok saya. Daripada memilih kalimat seperti ‘Diam’, ‘Menengo’, dia memilih kata lain yang lebih ‘adem’ dan tidak mengandung makna negatif. Logat khas semi-ngapak ini juga membuat semakin yakin bahwa memang komunikasi orang Wonosobo itu menyenangkan. Bahkan saat mereka menghadapi masalah, komunikasi seperti ini juga diterapkan. Komunikasi yang berusaha agar pihak lawan tidak sakit hati dengan pemilihan kata. Hal yang bisa kita pelajari dan terapkan bukan?
Ada banyak faktor saya kira yang membuat komunikasi orang Wonosobo seperti ini. Salah satunya yakni kondisi geografis mereka yang adem, sehingga kepala mereka menjadi ‘dingin’. Terkesan cocoklogi dan gak masuk akal, tapi itu sendiri yang diucapkan oleh salah satu warga sana saat aku tanyai terkait komunikasi orang Wonosobo. Namun saya pikir faktor penting mereka bisa berkomunikasi seperti ini adalah karena terbiasa. Terbiasa untuk berbicara baik, menghindari pemilihan kata yang tidak membuat lawan bicara sakit hati.
Dan bagian terbaiknya, menurut saya orang Wonosobo itu mampu membuat suasana hangat dan akrab. Baik ke sesama orang Wonosobo, maupun dari luar wilayahnya. Walaupun komunikasi yang akrab ini, tidak membuatmu mendapatkan seporsi mie ongklok gratis. Haha.
Leave a Reply