Holopis kuntul baris merupakan ungkapan yang hampir mirip dengan peribahasa jawa “Saiyeg saeka praya, saiyeg saeka kapti” yakni bekerja secara gotong royong dengan kebulatan tekad dan hati yang mulia. Holopis sebenarnya berasal dari bahasa Belanda yang memiliki arti “hai”. Namun seiring berjalannya waktu kemudian berkembang menjadi kata yang diadopsi Bung Karno untuk membangun gebrakan revolusi semangat rakyat. Pidato Bung Karno berbunyi bahwa “…Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!”. Kata kuntul mempunyai arti burung yang berbulu putih mempunyai leher panjang serta merupakan pemangsa ikan dan katak. Burung kuntul sendiri sering dijadikan simbolisme yang kuat didalam masyarakat Indonesia. Kalimat holopis kuntul baris juga terdapat dalam aransemen tembang campursari “Gugur Gunung” yang digubah oleh Ki Narto Sabdo. Selain itu, Ki Narto Sabdo juga membuat lagu yang lain yang digagas dalam rangka peristiwa kemerdekaan Indonesia.
Indonesia dengan keanekaragaman suku, ras, budaya, bangsa, dan agama memerlukan suatu landasan untuk pedoman berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Seluruh keberagaman budaya yang dimiliki masyarakat Jawa dilandasi dengan semangat gotong royong. Semangat ini merupakan warisan dari leluhur bangsa. Gotong royong merupakan wujud visibilitas kerukunan masyarakat Jawa. Istilah gotong royong sendiri berasal dari bahasa Jawa seperti halnya dengan kata karya dan gawe. Gotong sendiri mempunyai arti “dipikul” dan royong yang memiliki arti “bersama-sama”. Secara harfiah gotong royong dapat diartikan memikul secara bersama-sama atau mengerjakan sesuatu secara bersama-sama. Bisa diartikan juga dengan berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Dalam diri manusia yang notabene adalah makhluk sosial yang sebenarnya juga mempunyai rasa kebersamaan dan rasa sosial terhadap sesamanya. Ungkapan holopis kuntul baris disandingkan dengan Bhineka Tunggal Ika yang akhirnya nanti membentuk Persatuan Indonesia yang merupakan sila ke-3 Pancasila. Oleh karena itu, prinsip dari holopis kuntul baris menjadi dasar penyusunan Pancasila. Pada sila ke-4 asas kerakyatan menyatakan bahwa dalam memecahkan suatu persoalan perlu dilakukan gotong royong yang menjunjung kebersamaan.
Karakteristik esensial gotong royong adalah kesukarelaan , kebersamaan,dan kerja yang dipadukan menjadi satu rangkaian maka didapatkan “kerjasama sukarela” (Gunardi Endro,2016). Nilai moral gotong royong sendiri sering ditemukan pada masyarakat pedesaan (gemeinschaft) di Jawa yang masih menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Masyarakat Jawa juga dipengaruhi nilai-nilai besar yakni nilai urmat dan rukun (Gertz , 1998) yang menjadikan kehidupan yang tentram dan harmonis yang nantinya akan menimbulkan keselarasan sosial. Tertanamnya gairah gotong royong masyarakat desa awalnya terdapat pada tradisi pertanian yang mengharuskan para petani untuk saling bekerjasama menyemai bibit, menanam, merawat, hingga memetik hasil panen. Variasi praktik gotong royong dalam masyarakat Jawa banyak macamnya misalnya seperti ronda, guyuban, rewangan, gugur gunung, sambatan, dan tetulung layat.
Tradisi gugur gunung masih ada dan sering dilakukan di pedesaan. Tradisi gugur gunung sama artiannya dengan kerja bakti. tradisi gugur gunung biasanya dilakukan ketika membangun jalan atau membersihkan selokan. Di daerah Sragen, Jawa Tengah masih ditemukan tradisi gotong royong yaitu tradisi rewangan dalam perkawinan yang masih dipertahankan tiap tahunnya. Rewangan merupakan tradisi membantu suatu keluarga yang sedang memiliki acara atau hajat. Warga berbondong-bondong menghadiri acara dengan membawa berbagai uba rampe (bahan-bahan) dengan menggunakan kandi (karung) serta barang yang dibawa banyak macamnya baik makanan mentah, setengah jadi maupun yang sudah siap dihidangkan. Adapula warga yang datang dengan mengerahkan tenaganya seperti jika perempuan membantu memasak di dapur sedangkan laki-laki membantu usung-usung (angkat-mengangkat) alat, perlengkapan atau properti penunjang keberlangsungan acara. Hal tersebut dilakukan karena telah menganggap warga satu desa terikat dalam satu tali persaudaraan. Apabila seseorang membutuhkan bantuan tidak perlu berfikir panjang tentunya akan dibantu. Masyarakat desa juga berprinsip untuk membalas dan mengingat perbuatan seseorang yang telah dilakukan kepada diri masing-masing. Nenek moyang terdahulu memberi petuah “Pager mangkok luwih kuwat tinimbang pager tembok” yang artinya bahwa membina kerukunan antar tetangga itu lebih baik daripada membangun pagar rumah yang tinggi dan kuat tetapi tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Petuah tersebut koheren dengan slogan Holopis Kuntul Baris.
Tidak hanya berkembang pada masyarakat Jawa, holopis kuntul baris sudah tertanam dalam jiwa-jiwa masyarakat nusantara sejak lama. Masyarakat Aceh mengenal nilai gotong royong dengan tradisi khanduri. Masyarakat Bali melakukan aktivitas gotong-royong dalam berbagai upacara keagamaan dan subak (Bintarto, 1980:15). Gotong royong juga ditemukan dalam tradisi masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan yang disebut dengan minawang (Ahimsa, 2007:2)
Zamanyang semakin maju dipacu dengan pola pikir masyarakat yang semakin modern serta pengaruh dari masyarakat industrial, kemurnian dan esensi dari gotong royong ditengarai mulai terkikis. Beberapa pihak terkadang melakukan dengan landasan keterpaksaan rasa ewuh pekewuh (sungkan) atau dikarenakan terdapat imbalan didalamnya. Revitalisasi budaya gotong royong perlu dikobarkan dengan tujuan menyadarkan masyarakat betapa pentingnya membangun kerukunan antarsesama dengan hati yang ikhlas. Oleh karena itu kita sebagai warga negara Indonesia harus selalu melestarikan budaya gotong royong dalam masyarakat dan menanamkannya pada generasi milenial untuk selalu peduli dengan keadaan di sekitarnya.
Asri Wahyu S.
Leave a Reply