Selama ini banyak yang berpikir kalau aksi terorisme lekat dengan laki-laki. Namun, pada kenyataannnya kini perempuan telah “naik kelas” dalam perspektif para kelompok teroris. Perempuan yang dulu hanya dilibatkan dalam perkara menyiapkan logistik serta perlengkapan untuk “berperang”, kini menjadi eksekutor bom dan tergabung dalam pasukan perang.
Akumulasi rasa kecewa, sedih, masuknya doktrin, dan keinginan untuk melakukan pembaharuan menjadi alasan orang-orang bergabung dalam kelompok-kelompok yang ingin mengubah sesuatu secara instan. Dunia ini penuh ketidakadilan menurut persepsi para kelompok teroris. Ditambah lagi, narasi-narasi mengenai kemiskinan! Perempuan-perempuan dalam kelompok ini pun mengamininya dan berusaha melawan ketidakadilan yang didapatkan dalam diri mereka.
Lies Marcoes dalam Ngaji Keadilan Gender Islam (9/4/2021) mengatakan bahwa perempuan-perempuan dalam kelompok teroris sering mendapatkan perilaku diskriminatif dari suami, ustaz, atau orang-orang terdekatnya. Mereka mendapatkan teror di ruang-ruang privat dan ruang sosial, seperti kekerasan di ruang makan dan ruang tidur, masalah relasi antarindividu, menyangkut pemikiran, konsep kepatuhan, cara berpakaian, dan selalu dianggap sebagai sumber dosa, maupun sumber fitnah. Tekanan-tekanan dalam perempuan terus terjadi dan terakumulasi setiap hari. Perempuan-perempuan dalam kelompok teroris sangat patuh dan tidak pernah melawan karena pemikiran-pemikiran logis mereka telah digeser oleh doktrin-dokrin bahwa mereka rendah dan lemah iman. Perempuan-perempuan ini kemudian beranggapan kalau ia dapat mengaktualisasikan diri dan berguna apabila menjadi eksekutor bom. Mereka menganggap keadilan hanya ada di surga, dan itu dilakukan dengan jihad versi mereka. Perempuan dalam gerakan terorisme memiliki beragam peran, seperti sebagai pendidik, pendakwah, dan pengumpul dana.
Yayasan Prasasti Perdamaian dalam Jurnal Kajian Perempuan, Gender, dan Agama (2018:90) mengungkapkan bahwa perempuan-perempuan tersebut adalah para isteri dan keluarga teroris yang sudah lama terlibat dalam aksi-aksi pengeboman di Indonesia, isteri dan keluarga para jihadis di Suriah, Lebanon, dan Turki. Para suami atau keluarga mereka adalah anggota Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharut Tauhid, gerakan Negara Islam Indonesia, ISIS, Salafi Jihadis, dan organisasi Islam radikal lain.
Perempuan-perempuan bahkan anak-anak terpaksa terjun karena para personil laki-laki banyak berkurang akibat tertangkap maupun tewas. Awalnya mereka dinikahi, kemudian dijejali doktrin-doktrin radikal. Miris memang, tapi itulah adanya.
Perempuan dan anak-anak menjadi pelaku sekaligus korban dalam aksi terorisme yang dilakukan. Kembali menjadi bahan renungan kita bahwa perempuan harus dihormati dan diberikan ruang untuk bersuara dan mengekspresikan diri, bukan dianggap lebih rendah, bahkan sebagai sumber dosa dan sumber fitnah. Perempuan memiliki hak untuk menolak ketika ia disuruh melalukan hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang, seperti aksi terorisme.
Di era sekarang, sangat perlu untuk menghadirkan dakwah-dakwah yang ramah dan mengenai perilaku baik dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan keagamaan harusnya dilakukan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan mengajak berpikir logis supaya tidak banyak orang yang menjadi teroris. Semoga semakin banyak perempuan pembawa perdamaian, bukan pembawa rakitan.
Lena Sutanti
Leave a Reply