“Inilah yang mengundang murka Allah, hingga Allah menurunkan azabnya!”, kata seorang laki-laki sambil menendang sesajen dan melantunkan takbir dengan mantap. Widih, Anda ngeri banget ya, Brou~ tbl tbl, hehe.
Beberapa waktu lalu, sempat viral sesajen di Gunung Semeru ditendang oleh seorang laki-laki. Dalam video tersebut, terdapat dua sesajen yang dibuang, yaitu sesajen dengan wadah anyaman daun dan sesajen yang ditempatkan di wadah plastik.
Entah apa yang merasuki laki-laki itu hingga menendang sesajen. Namun yang jelas, perilaku nir-tata krama itu melukai hati banyak orang. Melukai apa yang ia yakin dan percayai. Bagai belati menghujam hati. Menendang sesajen, lho Bro! Kok ya berani dan seperti nggak punya adab. Situ belajar sopan santun dan tata krama tidak, ya?
Oiya, sebagai umat beragama, saya sangat sedih apalagi ketika ia membawa-bawa dan mengatasnamakan Tuhan saat berbuat kerusakan. Dih, kok percaya diri sekali dia menendang sesajen agar orang lain tidak mendapat azab dan kemurkaan Tuhan. Bukannya sebagai manusia, kita diajarkan untuk tidak berbuat kerusakan, menghargai sesama, mengendalikan hawa nafsu, dan senantiasa merawat alam? Sudah lupa kah?
Bukan hal baru lagi kalau sesajen dianggap musyrik bin syirik, sungguh saya tidak kaget. Namun, jika ketidaksukaan tersebut sampai merusak, melukai, dan mengganggu, itulah yang sangat membahayakan. Bukan main, bisa menjadi konflik yang berujung kekerasan di masa depan. Tuman, kalau Si Penendang itu dibiarkan, alias nggak dapat teguran!
Hmm, sebenarnya, apa sih makna dari sesajen itu sendiri? Kalau sadar, sesajen sangat dekat dengan kehidupan manusia dari ia lahir, melakukan aktivitas sehari-hari, hingga meninggal. Beda acara, beda tempat, sudah beda isi dan makna sesajennya. Sesajen itu sebagai wujud dari upaya menjaln hubungan antara manusia, Tuhan, dan alam untuk mencapai harmoni dan keselarasan. Buah-buahan, sayur, rempah, dan hasil bumi dalam sesajen pun beragam, disesuaikan dengan apa yang dimiliki oleh suatu daerah.
Melansir dari tempo.co, Dr. Samsul Maarif, pakar agama dan lintas budaya UGM menjelaskan bahwa antara manusa dan alam itu saling bergantung, maka perlu memahami alam agar bisa melestarikan. Nah, salah satu upaya yang dilakukan manusia yaitu menggunakan sesajen sebagai upaya refleksi, wujud syukur atas limpahan berkah sambil berdoa kepada Tuhan memohon keselamatan dan berkah yang lebih banyak lagi, tentunya.
Beras di sesajen menjadi lambang kehidupan dan kemakmuran; Keharuman dari bunga adalah simbol pengharapan, nasihat, pelajaran, kebijaksanaan, dan berkah; Kelapa dipilih sebagai simbol kebermanfaatan; Pisang jadi lambang kemakmuran dan harapan untuk berbuat hal yang berguna; Kopi Hitam sebagai lambang minuman kesukaan leluhur, dan masih banyak lagi. Begitulah cara manusia mengingat, berterima kasih, dan berpikir sederhana mengenai hal-hal di sekitar yang membuatnya hidup sampai sekarang. Sadar dong, wahai manusia!
Sesajen identik dengan tradisi Hindu-Buddha dan sudah berakulturasi dengan beragam kebudayaan di Nusantara. Sampai nanti, sesajen akan terus ada karena budaya yang diikat dengan agama itu akan terus dilakukan, alias langgeng karena ada unsur keharusan dan merupakan sebuah kesatuan yang utuh. Masyarakat pun akan menganggapnya sebagai kebiasaan, seperti ada yang kurang kalau tidak.
Kalau kita mengamati ritual Mitoni, Sedekah Bumi, Perkawinan, Kenduri, Pertunjukan Tari Jaran Kepang, Aluk Todolo, itu tidak bisa dilepaskan dari persembahan. Sesajen secara tidak langsung membuat orang mengingat untuk bersyukur, ikhlas memberi dan melepaskan, wujud dari rasa senang maupun kesedihan, penerimaan, ketentraman batin, kedisiplinan, menjauhi rasa sombong, berkontemplasi dan merawat alam. Wah, mulai dari sekarang, berhenti anggap sesajen sebelah mata dan dari yang terlihat saja. Ternyata ia punya makna yang mendalam!
Sesajen ini ada yang dipersembahkan kepada Tuhan, alam, juga sesama manusia. Yap, sangat beragam motif orang yang menggunakan sesajen untuk perantara. Kalau nggak tahu, ya tanya, dong! Jangan asal nendang. Gimana kalau sudah tahu makna sesajen, tetapi nggak setuju? Ya tetep hargai, bukan nambah masalah, apalagi kerusakan!
Kayaknya, Si Penendang itu perlu lebih rajin lagi membaca tentang budaya di Indonesia dan berteman dengan beragam suku dan agama, deh. Nggak cuma dia, kita juga butuh lebih banyak membaca sekaligus memahami literasi keberagaman agama dan budaya, lalu bertoleransi. Pokoknya, terus belajar memahami dan merenungi hal-hal kecil di sekitar kita, supaya jadi empati kalau ngerti! (Lena Sutanti)
Leave a Reply