“No game no life”, salah satu judul anime yang pernah saya tonton ketika Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan masih saya ingat sampai sekarang. Kata-kata tersebut mencerminkan kegemaran orang-orang bermain game online sampai lupa waktu, habis-habisan, dan membuat dunia game online seakan tidak kalah penting dari dunia nyata. Aku ingin memperkenalkanmu dengan Lalita, gadis brillian dan pengalamannya bermain game online.
Lalita merupakan salah satu siswi SMP yang sangat pintar dan hobi bermain game online. Game online tentu saja memiliki dampak yang positif apabila dimainkan secara bijak. Game online membuat Lalita belajar mengenai cara menyusun strategi, lebih teliti dan mendetail, lebih cermat, mengenali bahasa asing dari permainan, dan berinteraksi dengan beragam orang.
Bahaya-bahaya game online tetap mengintai. Lalita yang masih anak-anak itu berkenalan dengan Bara melalui fitur chatting (pesan) di game online. Bara, mula-mula melakukan pendekatan dengan Lalita dengan ucapan-ucapan manis bagai gulali.
“Boleh cerita apa saja ke saya, nggak usah malu-malu”, ungkap Bara menunjukkan kepedulian semunya. Lalita tertarik dan dibuat nyaman serta ketergantungan oleh perhatian yang Bara berikan melalui dunia maya. Lalita mulai jarang bercerita kepada orang tuanya. Ia cukup bercerita kepada bara tentang kesehariannya, saat gembira, sedih, dan momen-momen lain.
Beberapa minggu kemudian, Bara mulai bersikap aneh, seperti meminta Lalita mengirimkan foto anggota badan yang termasuk privat. Lalita sempat ragu, namun akhirnya ia menuruti Bara karena dia memaksa meninggalkan Lalita.
Anak-anak, termasuk Lalita adalah kelompok rentan yang perlu pendidikan seksualitas komprehensif agar bisa memahami risiko kekerasan di dunia digital. Fitur chatting di game online memungkinkan anak berinteraksi dengan macam-macam orang, dari yang baik hingga yang perilakunya buruk. Bara merupakan predator anak, sudah mengancam, ia juga orang dewasa yang tidak jujur karena mengaku seusia Lalita.
Orang-orang di game online banyak yang tidak memakai nama asli dan bersembunyi di balik akun anonim. Mereka bisa menghilang sewaktu-waktu yang berisiko terhadao psikologis korban.
Orang dewasa bisa apa?
– Tidak menyalahkan anak, ia adalah korban
– Menangkap layar dan blokir pelaku
– Mengajarkan pendidikan seksualitas yang komprehensif
– Edukasi kepada orang tua dan pendidik tentang kekerasan berbasis gender online
– Menjadi ruang aman untuk bercerita tanpa menghakimi
– Bertanya kepada anak tentang ‘Sedang bermain game apa?’, ‘Berinteraksi dengan siapa saja?’, dan ‘Apa yang dibicarakan?’
– Mengakses psikolog atau lembaga bantuan hukum
Ada contoh praktik baik, kemarin saya hadir di acara ‘Rujak Pare Sambal Kecombrang’ di gedung Rasa Dharma Semarang. Acara tersebut untuk mengingat tragedi Mei 1998 pada komunitas Tionghoa untuk mencegah kekerasan seksual terulang kembali.
Harjanto Halim, ketua perkumpulan Rasa Dharma (Boen Hian Tong) di Semarang itu sadar kalau zaman sekarang banyak Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) pada anak. Di acara itu tokoh masyarakat memberikan pengarahan kepada para orang tua agar selalu mengedukasi diri dan tidak menyalahkan anak, karena ia adalah korban.
Paling utama, anak harus diberikan pendidikan seksualitas komprehensif, meliputi gender, kesehatan reproduksi dna HIV, hak seksual dan HAM, kepuasan, kekerasan (termasuk digital), keragaman, dan hubungan manusia.
Dengan begitu, anak jadi mengetahui risiko, tahu tentang tubuhnya sendiri, berempati, tahu akan tindakan kekerasan seksual dan KBGO, bisa mengambil keputusan, dan mempertanggungjawabkan tindakannya. Semoga tidak ada Lalita-Lalita lainnya. Bagiamana menurutmu?
Referensi:
Adriana, Tika. 2020, “Pemain Game Online Perempuan Alami Pelecehan Seksual Hampir Setiap Hari”, konde.co
LM Psikologi UGM. 2021, “Kajian Pra Ngariung #2 Child Grooming: Kebaikan Penuh Manipulasi”, lm.psikologi.ugm.ac.id
National Society for the Prevention of Cruelty to Children, “Grooming”, nspcc.org.uk
Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), “Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online”, awaskbgo.id
Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet). 2020, “Laporan Situasi Hak-Hak Digital Indonesia 2020: Represi Digital di Tengah Pandemi”, awaskbgo.id
Tania, Venny. 2022, “Game Online Mengapa Misoginis dan Posisikan Perempuan sebagai Obyek”, konde.co
Yuniasri, Penny. 2024, “Game Online dan KBGO pada Anak: Jadi Tempat Grooming Predator Seksual”, digitalmama.id
Oleh: Lena Sutanti
Leave a Reply