Semarang – Peneliti politik Islam LIPI, Wasisto Raharjo Jati, menilai Ijtima Ulama III berpotensi memicu konflik sosial di masyarakat. Dikutip dari Tirto (2/5/19), ungkapan tersebut dilihat berdasarkan hasil Ijtima Ulama III.
“Kita perlu lihat bahwa fatwa itu bukan hukum positif, tapi publik terpecah karena mis-informasi menyamakan fatwa dengan aturan hukum,” ujarnya.
Dalam dunia pesantren tradisional, ijtima ulama lebih banyak dikaitkan dengan keputusan dalam ranah hukum Islam, bukan politik. Seperti yang terjadi saat ini. “Ijtima” berasal dari kata “ijma” yang berarti kesepakatan. Ijtima adalah hasil konsensus tersebut. Dengan kata lain, ijtima bukanlah sesuatu yang main-main.
Wasisto, menegaskan bahwa Ijtima Ulama III tak lebih sebagai politisasi status “ulama” dan agama itu sendiri. Identitas sebenarnya dari orang-orang yang ada di dalam Ijtima Ulama II adalah simpatisan pasangan capres, dan yang mereka lakukan semata agar jagoannya menang di pilpres.
“Argumen yang mereka sampaikan juga irasional,” imbuhnya.
Ijtima Ulama III sendiri diselenggarakan di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Rabu (1/4/19). Seusai perhelatan tersebut, kontroversi pun mulai bermunculan. Dalam tuntutannya mereka menginginkan agar KPU dan Bawaslu mendiskualifikasi pasangan capres nomor urut 01, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin.
“Perjuangan diskualifikasi atau pembatalan paslon 01 yang ikut melakukan kecurangan dan kejahatan di Pilpres 2019,” ujar Ketua GNPF (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa), Yusuf Muhammad Martak dalam konferensi pers.
Yusuf mengatakan semua keputusan diambil dengan melibatkan capres nomor 02, Prabowo Subianto dan tim suksesnya dari Badan Pemenangan Nasional (BPN).
Tanggapan Negatif dari Organisasi Islam
Berdasarkan hasil dan penyelenggaraannya, beberapa organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan PBNU menanggapinya secara negatif.
Wasekjen PBNU, Imam Patuduh mengatakan, dalam ranah demokrasi hasil Ijtima Ulama III harus dihormati, namun yang tetap perlu diperhatikan adalah apakah hal tersebut sesuai dengan norma yang berlaku atau tidak.
“Ketika pendapat itu sudah mengarah kepada sifatnya hal-hal yang provokatif, dan di luar kewajaran, dan di luar hal yang berlaku di Indonesia, maka kita seharusnya menggunakan pendapat-pendapat yang betul-betul sesuai dengan kaidah berbangsa dan bernegara dan aturan hukum yang berlaku,” ujarnya, Kamis (2/5/19).
Anggota Pengurus Pusat Muhammadiyah, Dadang Kahmad, menilai hasil Ijtima Ulama III tidak lebih kepada peringatan dalam penyelenggara pemilu agar mereka jujur, transparan, dan terbuka. Namun alangkah lebih baik untuk dilaporkan saja.
“Kalau memang ada kecurangan dan penyelewengan, ya laporkan. Ada mekanisme hukumnya. Sudah ada koridornya,” kata Dadang.
Selain itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kerukunan Umat Beragama, Yusnar Yunus, mengatakan bahwa perhelatan Ijtima Ulama III tidak tepat karena belum ada keputusan resmi dari penyelenggara pemilu.
“Kalau tidak sepakat dengan keputusan KPU dan Bawaslu ajukan ke MK. Ini kan belum ada keputusan, kemudian membimbing melakukan diskualifikasi. Bagi kami ini tidak tepat, kurang tepat karena harus berdasarkan Undang-Undang,” katanya. (RIF)
Leave a Reply