Setelah 75 tahun merdeka, masih banyak kelompok yang berusaha membenturkan Pancasila dengan ajaran Islam. Beberapa kelompok tersebut menyebut Pancasila dengan istilah “Thaghut”. Mereka beranggapan bahwa nilai-nilai Pancasila menyimpang karena disusun tanpa dasar Al Qur’an dan Hadist. Benarkah Pancasila termasuk dalam golongan “Thaghut”?
Istilah “Thaghut” biasanya digunakan oleh kelompok tertentu untuk memunculkan aksi radikalisme. Pernyataan ini membuat muslim terlihat “terkotak-kotak”. Muslim yang dianggap menjadi golongan “Thaghut” dianggap tidak “islami” dan tergolong “kafir”. Oleh karena itu, untuk melawan adanya “giringan” opini radikalisme, kita harus benar-benar memahami konsep Pancasila dan “thaghut” itu sendiri.
Setelah melewati berbagai macam “argumen” tentang ideologi pada masanya, akhirnya Pancasila ditetapkan menjadi jawaban sebagai dasar negara Indonesia sampai saat ini. Hal tersebut dikarenakan Pancasila telah mencakup nilai-nilai ideologi pemersatu yang menjadi identitas unggul bangsa Indonesia. Untuk mencapai tujuan bersama yang adil dan makmur, tentunya penyusunan pancasila tidak lepas dari nilai-nilai kehidupan rakyat Indonesia. Akan tetapi, anggapan tersebut ternayata belum dapat diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia. Masih banyak golongan yang menganggap bahwa Pancasil merupakan “Thaghut” dan mempercayai atau menganutnya adalah perbuatan yang syirik.
Syaikh Muhammad At-Tamimi menyebutkan bahwa ada lima “Thaghut” besar seperti; Pertama, iblis. Kedua, siapa saja yang dijadikan sesembahan dan dia rida. Ketiga, barangsiapa yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya. Keempat, barangsiapa yang mengetahui tentang ilmu gaib. Kelima, barangsiapa yang berhukum dengan hukum selain yang Allah turunkan. Ungkapan-ungkapan tersebut berhasil menggiring opini beberapa kelompok untuk menyebut Pancasila sebagai “Thaghut”. Kelompok tersebut memaknai bahwa memutuskan perkara tidak dengan hukum Allah maka disebut kafir.
Dalam kajiannya, Kyai Muhaimin selaku pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat menyatakan bahwa Pancasila sebenarnya juga mencakup nilai-nilai islam dan tidak semua hukum yang disusun atau dirancang tanpa dasar Al Qur’an dan Hadist dapat disebut “Thaghut”. Karena sejatinya, hukum pemerintah dapat berkembang dan bersifat dinamis. Beliau juga menyebutkan, jika pemberian hukuman mati dan potong tangan dapat diterapkan dengan mudah dalam sistem pemerintahan, justru dapat menghilangkan nilai islam sebagai rahmatan lil’alamin. Untuk itu, umat islam di Indonesia seharusnya dapat berfikir lebih terbuka dan tidak mudah menjustifikasi segala seuatu sebagai “kafir”.
Kesesuaian Pancasila dengan islam lebih jelas disebutkan dalam sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Keberadaan sila tersebut tentunya selaras dengan prinsip semua agama, khususnya Islam yang menjunjung tinggi nilai ketahuidan. Seluruh masyarakat yang beragama, berkewajiban untuk meyakini “ketahuidan” dan menjalankan kewajiban-kewajiban dalam beragama.
Selain itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga mengungkapkan bahwa “Bagi nasionalis ,Pancasila kebangsaan yang religius. Bagi umat Islam, Pancasila kebangsaan yang bertauhid karena ada sisi ketuhanan yang Maha Esa atas dasar Pancasila itu didirikan negara kesatuan republik indonesia. Jadi, Pancasila bukanlah thaghut melainkan titik temu.”
Pakar Tafsir tekemuka Indonesia Prof Dr Quraish Shihab menambahkan, bahwa walaupun masyarakat Indonesia memiliki mazhab, pandangan politik, dan kepercayaan yang berbeda-beda, namun sejatinya kita semua berketuhanan yang Maha Esa, seperti yang telah disepakati bersama yang terkandung nilai Pancasila, sila pertama. Dari beberapa pernyataan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa Pancasila bukanlah “Thaghut”.
Leave a Reply