Sobat damai, media sosial (medsos) merupakan platform digital yang sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia saat ini, utamanya di kalangan anak muda. Di masa serba modern dan canggih seperti sekarang ini, siapa sih anak muda yang nggak kenal dan nggak punya akun medsos?
Januari 2020 lalu, sebuah situs web layanan manajemen konten bernama HootSuite merilis laporan statistik pengguna internet atau medsos. Dari sekian juta populasi masyarakat Indonesia, 175,4 juta orang terkoneksi ke jaringan internet dan 160.0 juta diantaranya menggunakan platform medsos. Itu merupakan data bulan Januari, dimana Indonesia saat itu belum menerapkan pembatasan-pembatasan aktivitas sosial dan mengalihkan semuanya menjadi serba digital akibat pandemi Covid-19.
Mirisnya medsos kita dan gimana sih cara menanggulanginya?
Sebagian besar konten di internet adalah hoaks, demikian yang pernah disampaikan oleh Direktur Informasi dan Komunikasi Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Purwanto pada 2018 lalu. Jika kita nggak benar-benar jeli dan teliti, bisa-bisa kita kejebak hoaks dan kena pasal UU ITE karena nyebarin hoaks! Mau, dipenjara? Saya sih, ogah!
Narasi kebencian di medsos kita juga mbludak banget lho, gaes. Apa kalian sering nemuin postingan yang mengolok, mencaci, bahkan menghina atau memfitnah individu maupun kelompok lain yang berbeda, baik dari segi pendapat (kalau pendapatan saya kira, gak), pemikiran, aliran politik, bahkan agama? Seberapa sering kalian menerimanya?
Beberapa netizen kita malah membenarkan tindakan tersebut dengan berbagai alasan yang cenderung nggak masuk kantong akal.
Pada 2019 lalu situs web Suara[dot]com melaporkan, berdasar data penelitian dari Crimson Hexagon, menunjukkan bahwa ada sebanyak 70 ribu unggahan kemarahan dan ujaran kebencian terjadi setiap hari di medsos. Miris, bukan?
Belum lagi nih, sobat, kebebasan mengakses segala informasi di internet, bikin kita jadi ketergantungan, loh? Tindakan ketergantungan medsos ini menurut beberapa ahli psikologi, berbahaya banget untuk kesehatan mental kita. Utamanya bagi remaja perempuan, nih.
Internet dan medsos kita emang udah banyak banget ‘sampah digital’ berupa konten dan narasi propaganda, fitnah, adu-domba, kebencian, bahkan hingga konten-konten terorisme yang unfaedah itu.
Beberapa waktu lalu, misalnya. Saya masih menemukan sebuah kanal Telegram yang aktif menyebarkan video propaganda ISIS. Di Telegram, saya mengikuti sebuah kanal bernama ISIS Watch, yang tiap harinya memberitakan jumlah kanal teroris yang berhasil di banned telegram. Terhitung hari ini saja (20/10), ada sebanyak 1110 kanal dan bot yang di banned. Total kanal dan bot yang telah di banned pada bulan ini ada sebanyak 9979.
Ada juga grup-grup WhatsApp dan Facebook yang masih aktif menyebarkan ujaran kebencian hingga propaganda serta dukungan terhadap aksi-aksi terorisme. Meskipun beberapa grup nggak bisa diakses secara publik, alias hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengaksesnya, tapi keberadaan grup tersebut tetap jadi ancaman bersama.
Perbanyak kontra narasi dan narasi alternatif
Seperti yang sering disampaikan oleh Direktur NU Online Savic Ali, kondisi internet dan medsos kita sekarang ini bak sungai besar. Dimana banyak orang yang menggunakan air sungai tersebut untuk kebutuhan hidup seperti untuk minum, memasak, mengaliri sawah, mandi, dan kebutuhan yang lain. Namun, sungai tersebut kini tercemar oleh limbah yang beracun, berbahaya, dan mematikan.
Yang harus kita lakukan untuk mengembalikan kemurnian sungai tersebut adalah dengan membanjirinya dengan air yang jernih, menyaring serta membersihkan limbah-limbah berbahaya darinya. Tidak harus sampai bersih, sulit bahkan cenderung mustahil membersihkan sungai besar (sampai benar-benar bersih) dari limbah. Minimal, limbah yang ada pada sungai tersebut masih aman dan tidak menimbulkan dampak yang berbahaya bahkan mematikan bagi manusia.
Demikian juga dengan internet dan medsos kita yang saat ini dipenuhi dengan konten-konten negatif dan berbahaya. Tugas kita bukan membersihkan medsos sampai benar-benar bersih, karena itu sangat mustahil terjadi. Tugas kita, utamanya anak-anak muda, adalah membanjiri medsos dengan alternatif konten bernarasi positif, edukatif, serta perdamaian. Hal ini menurut Savic, penting dilakukan sebagai upaya kita dalam mengcounter narasi-narasi negatif. Bukan dengan perang argumentasi atau debat kusir yang seringkali tiada akhir.
Oleh karenanya, Savic berpesan kepada anak-anak muda, jika ingin memastikan masa depan Indonesia tetap Bhinneka Tunggal Ika, tetap damai, dan tetap menjadi rumah bersama bagi semua kalangan yang secara konstitusional dijamin. Maka, kita harus memastikan bahwa internet kita selalu dibanjiri oleh konten-konten positif.
Anak-anak muda juga harus rutin membuat tulisan-tulisan kontra narasi. Misalnya, jika ada yang membuat narasi “Pancasila Toghut, Demokrasi Haram,” dan lain sebagainya, tugas kita adalah memperbanyak tulisan yang bermuatan kontra. Misalnya, “Pancasila itu Islami, Islam itu Nasionalis, Demokrasi yang Islami” dan lain sebagainya. Kemas dengan semenarik mungkin. Sebarkan di web-web keislaman (karena ini yang sering diakses oleh masyarakat awam), di medsos, dan grup-grup WhatsApp. Jangkau pembaca sebanyak-banyaknya supaya banyak yang terpengaruh oleh tulisan-tulisan kita. Demikianlah jihad melawan narasi kebencian di medsos.
Selain itu, tentunya, jangan keseringan main medsos. Sebab medsos bisa mempengaruhi objektifitas pemikiran kita, selain bikin kecanduan seperti tintaku padamu..wkwkwk…
Perbanyaklah aktivitas yang positif dan produktif. Apalagi di tengah pandemi seperti sekarang. Jangan sembarangan nyebarin konten atau informasi yang nggak benar-benar kita pahami seluk beluknya. Ingat lho, jarimu adalah harimaumu! Lawan narasi kebencian dengan narasi cinta, damai, toleransi, dan narasi yang menenteramkan hati. Karena narasi kebencian tuh nggak akan pernah selesai jika kita balas dengan narasi kebencian juga. Seperti bunyi sebuah syair dalam kitab dhammapada (Buddha):
“Dalam dunia ini, kebencian tak akan pernah berakhir bila dibalas dengan Kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah satu hukum abadi” (Dhammapada, I: 5)
Nahloh! Jadi, gimana sobat damai, udah siap kan membanjiri internet dan medsos kita dengan konten-konten positif, edukatif, dan perdamaian? Yuk, ah, jangan tunggu lama. Kuy, gaspolll!!!
Salam damai!
(Vinanda Febriani)
Leave a Reply