Yup, di tulisan sebelumnya, udah kita bahas soal tiga jenis sesat pikir. Apa aja? Ada Ad Hominem, terus Argumentum Ad Populum dan ketiga ada Hasty Generalization. Eits, itu baru tiga awal. Masih ada tiga jenis sesat pikir yang perlu teman-teman ketahui. Biar bisa jeli buat bedain mana informasi yang valid, dan mana yang hoaks. Masih ingat kan salah satu kriteria dari sesat piker atau logical fallacy itu adalah usaha ‘menipu’.
Yup tanpa banyak cincau, langsung kita bahas aja jenis sesat piker selanjutnya jilid kedua :
1. Post Hoc Ergo Propter Hoc
Sesat pikir ini terjadi karena adanya kesalahan dalam mengambil suatu keputusan berdasarkan dari hubungan sebab-akibat. Misalnya nih, kamu ada ngerjain soal ulangan dengan memakai pulpen. Pulpen ini merknya misal P. Nah sehabis ulangan kan biasanya tahu hasilnya, dan ternyata nilaimu bagus.
Terus karena itu, kamu coba lagi ngerjain ulangan di mata pelajaran lain pakai pulpen yang sama itu, dan ternyata nilai kamu bagus lagi nih. Sehingga kamu pun berpikir kalau itu adalah pulpen yang punya kekuatan super pembawa keberuntungan. Terus kamu kepikiran, deh, buat ngisi formulir pendaftaran jadi tentara atau polisi, pake pulpen yang sama itu biar keterima.
Ya mana bisa gitu bro. Nih aku kasih tahu satu rahasia: yang bikin nilai kamu bagus itu ya usahamu sendiri. Gimana cara kamu belajar, pengin tahu, ngulang materi, latihan-latihan soal, atau diskusi bareng temen-temen kelas. Bukan karena pulpennya sakti atau punya kekuatan super juga.
Sekarang paham gak soal jenis sesat piker ini?
2. Slippery Slope
Sesat pikir selanjutnya adalah slippery slope. Kalau yang ini, adalah jenis sesat piker dari kesalahan pengambilan kesimpulan dari argumen yang membutuhkan banyak pernyataan. Atau sejenis dengan snowball effect, cuma lebih ngawur. Misal gini nih contohnya:
Kamu kehilangan pulpen pas mau ngerjain ujian nasional, maka kamu gak bisa ngerjain ujian nasional. Karena gak bisa ngerjain ujian itu, terus kamu gak lulus. Gak lulus, terus susah cari kerja. Yang berarti pengangguran, terus jadi beban masyarakat.
Kesimpulan dari slippery slope diatas: kalau kamu kehilangan pulpen, maka kamu akan jadi pengangguran.
Lihat? Ya walaupun agaknya berlebihan sih, dan emang keliatannya terlalu dibuat-buat, tapi kurang lebih kayak gitu. Dan di dunia ini, masih ada orang orang yang benaran menggunakan slippery slope untuk mengecoh logika kita.
3. False Dicotomy (black or white)
False dicotomy (black or white) adalah salah satu kecacatan berpikir yang sering sekali kita lakuin secara nggak sadar. False dicotomy adalah ketika seseorang menganggap dalam satu argumen, hanya terdapat dua pilihan.
Misal: Cowok-cowok yang sering ikut latihan di Gym itu berarti jantan. Maka, kamu memiliki anggapan kalau cowok yang nggak ikut ngeGym berarti gak jantan alias betina.
Padahal nggak gitu, kan? Bisa aja karena si cowok lain ini punya kegiatan olahraga lain atau karena nggak tertarik ikut ngeGym.
Atau dalam ranah politik nih, misalnya. Di periode pilpres 2019 kemarin, ketika kamu mengkritik Jokowi, maka kamu akan mendapatkan label sebagai “kampret”. Atau sebaliknya, ketika kamu tidak setuju dengan kebijakan atau pernyataan Prabowo, kamu akan dianggap “cebong”. Padahal, ya, nggak gitu juga.
Belum tentu orang yang nggak suka kampret itu cebong, dan yang nggak suka cebong itu kampret. False dicotomy yang menyebabkan jadi gitu, dan malah ngebuat masyarakat seolah hanya punya dua kubu dan kita dipaksa ditempatkan di salah satunya.
Sebenernya sih, masih ada beberapa jenis sesat pikir (logical fallacy) lain kayak. Kayak circular reasoning, burden of proof, atau appeal to fear. Tapi lain waktu lah diolah lagi dalam bentuk tulisan. Sementara segini dulu ya. Sampai jumpa di tulisan berikutnya.