Sobat damai, baru-baru ini, pemerintah Filipina mengumumkan bahwa Gabungan militer dan polisi Filipina pada Sabtu (10/10) lalu, berhasil meringkus seorang perempuan yang hendak melakukan bom bunuh diri di Filipina Selatan. Pihak milisi menduga, tersangka merupakan bagian dari kelompok ekstrimis Abu Sayyaf yang berafiliasi ke ISIS.
Rezky ditangkap bersama dua perempuan lain, termasuk Inda Nurhaina, yang menurut militer adalah istri komandan Abu Sayyaf Ben Yadah. Rizky diduga hendak melancarkan aksi bom bunuh diri usai dirinya melahirkan.
Pejabat militer setempat menyebut, Nana S Isirani alias Rezky Fantasya Rullie alias Renzy Fantasya Rullie alias Cici (tersangka) sebagai warga negara Indonesia (WNI). Sebelumnya, Cici juga pernah berencana melakukan aksi bom bunuh diri di Kota Zamboanga sebagai balas dendam atas kematian suaminya.
Keterlibatan kaum perempuan dalam berbagai aksi dan propaganda terorisme bukanlah hal yang baru. Sejak kekhalifahan ISIS di Mosul berhasil dikalahakan oleh pasukan Koalisi yang disokong Amerika Serikat pada Juni 2017 lalu, jumlah para kombatan ISIS dari kalangan laki-laki mulai menyusut. Kaum perempuan yang semula pasif gerakannya, setelah kekhalifahan ISIS di Mosul jatuh, mereka mulai turut serta dalam ekspedisi jihad.
Di Indonesia sendiri, keterlibatan perempuan sudah jadi trend sejak kisaran tahun 2010. Menurut laporan Peneliti Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (Moh. Adhe Bhakti, 2016), ada banyak perempuan yang terlibat dalam berbagai aksi terorisme di Indonesia. Diantaranya ialah Putri Munawaroh, Munfiatun, Arina Rahma, Nurul Azmy Tibyani, Rosmawati, Puji Kuswati, Dita Siska Millenia, Siska Nur Azizah, hingga baru-baru ini yang direncanakan oleh Rezky Fantasya alias Cici.
Perempuan, dalam beberapa aspek memang terlihat lemah. Namun ketika sudah bersinggungan dengan ideologi radikalisme-terorisme, militansi kaum perempuan bisa jauh mengungguli kaum lelaki. Itulah sebabnya, terorisme dari kalangan perempuan jauh lebih menyeramkan dibandingkan laki-laki. Perempuan bisa mendoktrin keluarga dan anak-anaknya dengan metode yang sangat halus, yakni dengan pendekatan bathiniyah dan emosional sebagai ciri khas perempuan. Berbeda dengan kaum laki-laki yang selalu berusaha menempatkan logika pada prinsip utama.
Fenomena ini menjadi warning besar bagi kita semua, khususnya kalangan perempuan. Bahwa terorisme khususnya di Indonesia, tidak lagi menggunakan sistem patriarkis. Belakangan mereka melibatkan perempuan untuk berbagai aksi. Sekalipun keterlibatan perempuan sendiri bukan jadi kekuatan utamanya, melainkan hanya sebagai pelengkap saja. Hal tersebut jelas bukan emansipasi, sebab para kelompok teroris sendiri sangat anti dengan segala hal yang berbau barat.
Para kaum perempuan yang bergabung dengan kelompok teroris hingga terlibat aksi di dalamnya seringkali disebabkan oleh adanya doktrin teologis. Bahwa menurut pemahaman kelompoknya, jihad melawan kafir dan menegakkan Daulah Islamiyah adalah kewajiban bagi umat Islam yang tidak bisa digugurkan oleh alasan dan keadaan apapun. Siapapun yang melawan dan melarang terlaksananya Jihad, ia adalah kafir yang wajib diperangi. Hal itulah yang kemudian melatarbelakangi perempuan jadi bagian dari aksi-aksi ahumanis kelompok-kelompok ini.
Selain doktrin teologis, faktor pengaruh dari ikatan pernikahan, atau ikatan kekeluargaan juga berpengaruh besar. Cici misalnya, ia diduga kuat berasal dari keluarga yang berafiliasi terorisme, Cici juga menikah dengan suami seorang kombatan teroris.
Dalam catatan lain, Putri Munawaroh, seorang perempuan yang selama 3 bulan melindungi Noordin M Top yang saat itu terlibat dalam peristiwa peledakan bom bunuh diri di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton jilid II tahun 2009. Setelah Susilo (suaminya) yang juga terlibat dalam kasus penyembunyian Noordin meninggal dunia, Munawaroh kembali menikah dengan seorang warga binaan (napi) terorisme yang sedang menjalani hukuman di sebuah LP di Jawa Timur.
Artinya, lingkaran setan dalam gerakan terorisme ini cenderung sulit dihentikan. Seorang perempuan apabila sudah terjun terlalu jauh dalam gerakan terorisme, tentu akan terus berputar di lingkaran itu-itu saja. Misalnya, jika suaminya yang merupakan kombatan teroris meninggal ketika melaksanakan Amaliyah Jihad, barang tentu perempuan tersebut akan mencari atau dijodohkan dengan laki-laki lain dari kelompok yang sama.
Menyelamatkan Perempuan Indonesia
Salah satu upaya yang terus digaungkan oleh BNPT melalui FKPT dan berbagai LSM untuk mencegah dan mengantisipasi keterlibatan kaum perempuan dalam berbagai kelompok radikalisme-terorisme lebih dalam, ialah dengan terus mengadakan pendampingan-pendampingan, sosialisasi, dan juga kampanye-kampanye anti-propaganda baik di media sosial maupun di dunia nyata.
Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kaltara Datu Iskandar Zulkarnaen dalam sebuah FGD (30/9/2020) bertema “Perempuan Agen Perdamaian” menyampaikan pentingnya peran dan kehadiran penceramah dari kalangan perempuan.
Hal tersebut dirasa sangat penting bagi proses deradikalisasi, khususnya dalam memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran Islam kepada perempuan. Namun sayangnya, jumlah perempuan yang terlibat menjadi penceramah jumlahnya bisa dibilang cukup minim. Tidak seperti kaum laki-laki yang jumlahnya bisa sangat banyak.
Selain memperbanyak penceramah dari kalangan perempuan, kita juga perlu melibatkan peran strategis perempuan dalam berbagai kegiatan pelestarian kearifan lokal. Ini merupakan salah satu cara yang efektif untuk menangkal pemahaman ekstrimisme dalam beragama. Kearifan lokal Indonesia mengajarkan kepada kita agar senantiasa berlaku santun, bertutur kata lembut, beretika baik, serta menjadi manusia yang sesungguhnya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Inilah yang oleh kelompok radikalisme-terorisme hendak dihapuskan.
Hasil riset BNPT tahun 2017 lalu menunjukkan bahwa daya tangkal yang paling kuat untuk menangkal ideologi radikalisme dan gerakan terorisme adalah melalui pendekatan kearifan lokal dan kesejahteraan. Kemudian dalam riset BNPT yang lain, yakni tahun 2018, menunjukkan bahwa kearifan lokal dianggap sebagai perekat masyarakat sekaligus dipercaya sebagai daya tangkal dari kedua faham tersebut.
Kedua hasil riset tersebut tentu bisa jadi salah satu acuan bersama, bahwa selain dengan pendekatan keagamaan yang lebih humanistik dan moderat, kita bisa memagari para perempuan supaya tidak terjerumus ke dalam jurang ideologi dan gerakan Ekstrimisme yang curam dan berbahaya.
Lebih penting dari itu, ialah upaya memberikan edukasi perdamaian, edukasi anti radikalisme-terorisme, serta edukasi wawasan keagamaan yang moderat bagi para perempuan, juga bagi anak-anak yang bisa dimulai sejak TK secara lebih masif. Sebagaimana yang disampaikan oleh Nasir Abbas dalam sebuah webinar, doktrinasi anti keberagaman, radikalisme hingga terorisme telah terjadi sejak tingkatan TK. Sehingga menurut Nasir, di tingkatan Perguruan Tinggi bukan lagi dapat disebut sebagai ‘bibit’, melainkan itu sudah saatnya panen.
Saya pribadi berharap BNPT melalui Duta Damai, ataupun lembaga lain di bawahnya mengadakan sebuah program sosial ‘Sekolah Perempuan’ beberapa minggu atau bahkan bulan yang dikhususkan untuk para perempuan yang benar-benar ‘terbelakang’ baik dari segi pendidikan formal, pendidikan agama, maupun ekonomi. Nantinya, para perempuan tersebut diberikan edukasi, pendampingan, dan juga arahan-arahan supaya tetap kreatif, inovatif, dan tentu saja tidak mudah terjerumus dalam iming-iming propaganda kelompok ekstrimisme.
Harus kita pahami bahwa bagaimanapun, perempuan bak benteng dalam sebuah rumah. Jika bentengnya rapuh, maka ‘hewan-hewan buas’ bisa dengan mudah masuk ke dalam rumah dan ‘menghabisi’ tuan rumah. Maka selayaknya, kita harus berupaya mengukuhkan ‘benteng’ itu dengan senantiasa menanamkan pemahaman keislaman yang benar, moderat, dengan penafsiran yang benar, dan pelaksanaan yang tepat. Supaya ‘binatang buas’ (dalam hal ini adalah kelompok radikal dan terorisme) tidak bisa masuk dan ‘menghabisi’ (dalam artian mempengaruhi pemikiran dan membrainwash ) tuan rumah.
Misalnya tentang bagaimana perempuan harus berjihad. Ini tentu tidak bisa dimaknai secara serampangan. Allah SWT memerintahkan manusia untuk pergi berjihad, bukan berarti berjihad dengan pergi berperang melawan ‘kafir’ saja. Dalam konteks kekinian, tafsir tersebut tak lagi relevan. Jihad yang dimaksud dalam konteks kekinian salah satunya ialah bagaimana menjadi manusia yang berkualitas secara sosial, spiritual, dan intelektual.
Tuntutan jihad pada kaum perempuan, salah satunya seperti turut aktif dalam menjaga komunikasi dan harmonisasi rumah tangga dengan baik, menjadi madrasah bagi anak-anaknya supaya menjadi insan yang berkualitas, hingga berbakti kepada kedua orangtuanya serta berbakti kepada sang suami. Jihad tidak harus dimaknai secara tekstual ‘Pergi berperang menegakkan Daulah Islamiyah’. Itu tafsir yang sangat jauh dari konteks kekinian. Agama selalu up to date terhadap perkembangan zaman. Sehingga, tafsir dan pemahaman keagamaan kita juga haruslah Up to date supaya sinkron dengan konteks problematika masyarakat modern.
Menyelamatkan perempuan Indonesia dari ancaman ideologi radikalisme dan kelompok terorisme merupakan salah satu upaya yang sangat urgent dalam membentengi bangsa ini dari ancaman kehancuran. Jika perempuan rapuh, bangsa ini turut rapuh. Karena bibit generasi penerus, hanya ada pada rahim perempuan, tidak ada pada laki-laki.
Barangkali, laki-laki bisa merekrut 1 orang dalam sehari dengan berdasar logika. Sedangkan perempuan bisa merekrut hingga 5 orang perhari baik dari internal keluarga maupun eksternal (masyarakat awam) dengan menggunakan pendekatan-pendekatan bathiniyah atau emosional. Sehingga, justru perempuanlah yang seharusnya menjadi prioritas utama penyelamatan melalui program deradikalisasi ataupun dengan pemberian pemahaman kontra radikalisme/terorisme terlebih dahulu. Supaya generasi penerus bangsa nantinya terbebas dari dua virus yang membahayakan tersebut.
Vinanda Febriani
Leave a Reply