free page hit counter
Domestikasi perempuan, Bagaimana menurut Islam?

Istilah Domestikasi mungkin agak asing terdengar di telinga. Mencari dari berbagai sumber, istilah Domestikasi adalah suatu upaya menempatkan kaum perempuan sebagai makhluk domestik dimana kaum perempuan hanya memiliki batasan peran yaitu hanya berurusan dengan ke rumah tanggaan saja. Adanya Domestikasi perempuan biasanya berkembang dalam masyarakat yang masih memegang teguh tradisi turun-temurun seakan menomorduakan perempuan. Mengutip dari pendapat Julia Surya kusuma seorang feminisme sekaligus aktivis bagi kaum perempuan domestikasi adalah sebuah konsep tentang subordinasi (penomorduaan) kedudukan perempuan di bawah kaum laki-laki.

Hal ini bisa menjadi diskriminasi terhadap kaum perempuan karena dianggap sebagai “kanca wingking” (teman yang berada di belakang dan harus selalu melayani laki-laki. Menurut wawancaranya di salah satu media Domestikasi perempuan merupakan ideologi gender dimana pernah terjadi pada era demokrasi pemimpin (1959-1965), orde baru (1966-1998) dan era reformasi (1998-sampai sekarang). Beberapa peristiwa terjadi pada tahun tersebut dimana perempuan hanya menjadi subordinasi. Anda dengan mudah dapat mencarinya dalam berbagai sumber seperti jurnal, karya ilmiah dan lain-lain. Di sisi lain, pemerintah juga telah berusaha menghilangkan adanya domestikasi perempuan dengan membuat kebijakan.

Pada era Reformasi, sempat disahkan beberapa Undang-Undang (UU) yang mengatur tentang hak-hak perempuan, di antaranya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Namun, implementasinya tidak membuahkan hasil baik. UU yang seharusnya memberikan kejelasan hukum justru dalam penerapannya sering sulit dijalankan karena keyakinan adat dan pengaruh agama yang disalah artikan.

Misalnya, peraturan terkait poligami pada revisi UU Perkawinan yang mengharuskan seorang laki-laki untuk mendapat izin tertulis dari istri sebelumnya jika ingin menikahi perempuan lain. Namun dalam praktiknya, masih banyak laki-laki melakukan poligami tanpa meminta izin kepada istri. Contoh lainnya terkait dengan perkawinan anak. Dengan disahkannya UU No. 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas UU Perkawinan, usia minimal menikah bagi perempuan adalah 19 tahun. Implementasi UU ini juga tidak berjalan lancar. Padahal perkawinan anak merupakan hal yang sangat merugikan, bukan hanya bagi mereka yang menikah di usia muda, tetapi juga bagi negara.

Contoh lain dari adanya domestikasi perempuan adalah masyarakat desa ataupun daerah terpencil masih memegang teguh tradisi turun-temurun. Tidak sedikit dari orang tua lebih memilih menikahkan anak perempuan mereka diusia muda daripada meneruskan pendidikan anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi karena beranggapan apabila memiliki seorang anak perempuan dianggap sebuah beban terutama dalam keadaan ekonomi pas-pasan. Hal inilah menjurus pada budaya patriarki bagi kaum perempuan.

Dilansir dari Kompas.com, Pada tahun 2020, terdapat lebih dari 64 ribu pengajuan dispensasi pernikahan anak bawah umur. Indonesia menduduki peringkat ke-2 di ASSEAN dan peringkat ke-8 di dunia untuk kasus perkawinan anak. Diketahui, sekitar 22 dari 34 provinsi di tanah air memiliki angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Hal ini dianggap mengkhawatirkan. Pasalnya, pemerintah telah mengatur dengan jelas batas minimal perkawinan menjadi 19 tahun, dan memperketat aturan dispensasi perkawinan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.

Domestikasi sendiri telah merambah sangat luas di kalangan masyarakat terutama pada daerah terpencil dan desa-desa. Padahal pemerintah berupaya membuat kebijakan tertentu untuk meminimalisir adanya domestikasi perempuan. Namun masih saja adanya hambatan dalam implementasinya. Kesadaran masyarakat yang kurang adalah salah satu faktor penyebabnya.

Lalu bagaimanakah pandangan Islam terhadap Domestikasi perempuan?

Sesuai firman Allah Swt. dalam Alquran pada surah Al-Baqarah ayat 30 yang artinya:

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan Khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS, Al-Baqarah, 30).

Dari firman Allah tersebut, telah dijelaskan bahwa semua manusia adalah sama yaitu memiliki peran sebagai Khalifah dalam menciptakan kebermanfaatan di muka bumi. Tidak ada perbedaan antara manusia karena yang membedakan hanyalah iman dan Taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Ayat tersebut menunjukkan setiap perempuan maupun laki-laki juga memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk mengembangkan potensi atau bakatnya sehingga dapat menciptakan kemaslahatan bagi semesta.

Berdasarkan sabda Rasulullah Saw:

“Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya” (HR muslim 3408).

Hadist tersebut telah menjelaskan tugas dan kewajiban manusia adalah sama yaitu menjadi pemimpin. Minimal memimpin dirinya sendiri dan setiap kepemimpinannya akan dipertanggung jawab kan nanti. Ini berarti baik dari laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama menjadi khalifah minimal untuk dirinya sendiri dan menjadi khalifah untuk kemaslahatan banyak orang. Bahkan Allah menyebut nama-nama perempuan yang sangat mulia di Alquran.

Pertama adalah Ratu Bilqis. Selain mempunyai paras yang cantik, dia adalah seorang pemimpin bijaksana. Ratu Bilqis sukses memimpin rakyatnya sehingga makmur dan sejahtera. Kedua adalah Asiyah binti Muzahim. Asiyah adalah seorang perempuan yang dipuji karena kemandirian dan ketegasan imannya dalam melawan raja dzalim yaitu Raja Firaun. Ketiga adalah Siti Maryam, seorang perempuan terbaik sepanjang masa. Siti Maryam dengan ketegasannya menjaga kehormatan dalam dirinya membuat Allah memberinya anugerah berupa putra Sholih yaitu Nabi Isa AS.

Selain ketiga nama perempuan yang disebutkan di Alquran, ada pula perempuan mulia sebagai representasi perempuan yang berhasil memimpin. Pertama ada Siti Khadijah, yang mendermakan seluruh harta, tenaga, dan pikirannya untuk mendukung dakwah Rasulullah SAW dalam penyebaran Islam. Kedua, Siti Aisyah, perempuan cerdas yang mampu menghafal ribuan Hadits dalam waktu singkat.

Terakhir, Nusaibah binti Ka’ab Al-Anshariyah perempuan yang berani berjuang di medan perang melindungi Rasulullah Saw dalam serangan musuh. Semua perempuan yang disebutkan tadi adalah bukti bahwa seorang perempuan memiliki kapabilitas. Perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam berperan apabila demi kemaslahatan. Tidak melulu perempuan hanya berperan dalam rumah tangga saja. Mengutip dari konteks Jawa perempuan biasanya merepresentasikan secara implisit dalam pelabelan (stereotyping) dimana perempuan hanya menjadi “kanca wingking” untuk urusan seputar dapur, sumur dan kasur namun dari nama-nama perempuan tadi telah membuktikan seorang perempuan mampu menjadi contoh publik figur bagi umat bahkan berani menjadi pejuang dalam medan tempur.

Ditulis oleh: Lusi Hanasari. Alumnus Universitas Islam Lamongan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.