Saya adalah seorang anak yang lahir dari keturunan suku Jawa-Kristen. Sejak saya kecil, orang tua saya mendidik saya dengan nilai-nilai yang sarat akan budaya Jawa. Salah satunya mengenai budaya toleransi. Sebagai contoh saat sore hari saya sedang bermain bersama teman-teman saya. Orang tua saya selalu berpesan, “Nak, kalau sudah mau magrib sebaiknya pulang karena hari sudah gelap”. Setelah dewasa ini saya baru menyadari bahwa maksud orang tua saya adalah supaya saya tahu waktu-waktu dimana teman saya yang beragama Islam harus beribadah menjalankan salat. Sebagai contoh lainnya orang tua saya selalu mengingatkan saya jika saat teman saya sedang berpuasa, saya juga harus belajar berpuasa. Setidaknya itu menjadi salah satu bentuk toleransi lainnya yang saya pelajari. Belajar itupun harus melalui proses sehingga seiring berjalannya waktu saya menjadi terbiasa.
Kebiasaan bertoleransi itu berlangsung hingga saya menjadi mahasiswa dan harus menempuh pendidikan di kota. Saya diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah. Saya yang notabene adalah anak daerah, sejak kecil berteman dengan kebanyakan anak keturunan suku Jawa berpikir bahwa di kampus nanti juga akan seperti saat-saat saya ada di daerah. Namun ternyata tidak, di kampus ini saya bertemu dengan banyak teman dengan latar belakang suku, agama, dan ras yang berbeda. Kalau boleh dibilang saya menemukan miniatur Indonesia kecil di kampus ini.
Sampai saat saya memilih rumah kos, saya tinggal dengan beberapa teman. Ada yang dari suku Batak, Toraja dan Papua. Batak sendiri ada Batak Toba, Batak Simalungun dan Batak Karo. Ada banyak hal yang sangat berbeda dari kami. Kadang kami sering mengalami gesekan satu dengan yang lainnya. Ada beberapa hal yang prinsip dan itu tidak bisa saling diubah. Hal tersebut membuat saya menyadari bahwa setiap kami memiliki ciri masing-masing yang tidak bisa disamakan satu dengan yang lainnya. Menurut saya itu unik!
Dari sedikit cerita itu, saya jadi teringat akan semboyan bangsa Indonesia. “Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi satu jua”. Dari ujung barat ada suku Batak, Betawi, Sunda, Jawa, Dayak, Bugis. Dari Timur ada Toraja, Bali, dan banyak lagi suku-suku lainnya. Dari latar belakang agama ada Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katholik, dan Kong Hu Cu dan masih banyak lagi perbedaan latar belakang penduduk di bangsa ini. Namun semuanya dapat disatukan dengan “Bhineka Tunggal Ika”.
Saya sebagai orang Indonesia tentunya bangga akan hal ini. Tapi bangga saja tidak cukup, sebagai warga negara Indonesia saya juga harus turut serta dalam membumikan nilai kebhinekaan ini dalam kehidupan sehari-hari seperti saat saya berkomunikasi dengan orang-orang.
Jadi mari sebagai orang Indonesia, sebagai warga negara Indonesia kita harus menjaga dan menjiwai nilai-nilai “Bhineka Tunggal Ika” kita. (YD)
Leave a Reply