free page hit counter
Home » Romo Budi, Tokoh Katolik Penggerak Dialog Perdamaian di Jawa Tengah

Romo Budi, Tokoh Katolik Penggerak Dialog Perdamaian di Jawa Tengah

Romo Budi, Tokoh Katolik Penggerak Dialog Perdamaian di Jawa Tengah

 

Warga Jawa Tengah khususnya yang berdomisili di Semarang, tentu tak asing dengan nama salah seorang pastor Katolik yang kehadirannya identik dengan alat musik Saxophone satu ini. Nama lengkapnya adalah Aloysius Budi Purnomo Pr, yang akrab disapa Romo Budi. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Hubungan Aagama dan Antar Kepercayaan (HAAK) Keuskupan Agung Semarang 2006-2019. Saat ini beliau ditugaskan menjadi Pastor di UNIKA Soegijapranata, Semarang.

Romo Budi ini merupakan sosok pastor yang sangat humoris serta humanis, ia mudah dekat dengan siapapun, murah hati, ramah dimanapun, dan selalu mengayomi anak-anak muda.

Selain Saxophone, benda lain yang lekat dengan Romo satu ini adalah udeng merah putih yang didapatnya dari Banyuwangi. Udeng ini tak pernah lepas dari kepala Romo saat menghadiri kegiatan-kegiatan di luar Gereja. Barangkali kedua benda tersebut memiliki makna filosofis tersendiri bagi Romo.

Romo Budi dan Dialog Kebhinnekaan

Romo Budi aktif dalam dialog lintas perbedaan, bahkan beliau menjadi salah satu pembina Jaringan GUSDURian Semarang. Beliau aktif menghadiri dan menjadi narasumber dalam dialog-dialog kebhinnekaan, salah satunya dalam kegiatan dialog lintas iman yang diselenggarakan oleh Paguyuban Jamaah Kopdariyah Magelang.

Saat itu, Romo Budi hadir menjadi narasumber bersama Gus Yusuf Chudlori. Seperti biasanya, sebelum memulai kegiatan, Romo asyik memainkan Saxophone nya yang indah tersebut di tengah panggung. Suaranya merdu, membangkitkan semangat tiap orang yang mendengarnya untuk senantiasa setia merajut perdamaian dan persatuan.

Saya ingat betul, Romo Budi menyampaikan sebuah jargon yang dikutipnya dari pidato Mgr. Robertus Rubiyatmoko, Uskup Keuskupan Agung Semarang, “Jadilah warga negara yang 100% Religius, 100% Nasionalis.”

Jargon tersebut sangat penting bagi kita semua, Warga Negara Indonesia (WNI). Ada sebagian dari kita, sadar atau tidak, memilih menjadi manusia yang hanya religius saja dan tidak nasionalis (atau sebaliknya). Padahal, keduanya adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan seperti halnya bakso dengan kuahnya. Apabila bakso dengan kuah ini kita pisahkan saat menyantapnya, tentu rasanya akan berbeda. Tidak ada nuansa gurih, karena yang gurih dari bakso ada pada kuahnya.

Begitu juga dengan agama dan nasionalisme. Agama tidak melarang -bahkan bisa disebut mewajibkan- Nasionalisme, karena “Hubbul Wathon Minal Iman,” Cinta tanah air (nasionalisme) adalah sebagian daripada keimanan (ini terdapat pada syair karangan KH. Wahab Hasbullah, tokoh pendiri Nahdlatul Ulama).

Romo Budi dalam berbagai kesempatan dialog yang saya ikuti, selalu membicarakan tentang kesatuan, cinta kasih, dan perdamaian dalam bingkai keindonesiaan. Tak henti-hentinya beliau mengumandangkan 3 hal tersebut. Menurutnya, Indonesia merupakan negara yang sangat beruntung punya beragam perbedaan suku, budaya, bahasa, hingga agama, di bawah naungan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Sepatutnya, kata beliau, sebagai generasi bangsa kita harus mengupayakan agar bangsa ini tetap bersatu padu, bergotongroyong membangun Indonesia yang merdeka dalam arti yang sebenarnya.

Masih manurut Romo, kita bisa menepis segala prasangka dalam perbedaan di antara kita dengan cara berdialog. Segala permasalahan di Indonesia terkait perbedaan, sebenarnya kunci utama penyelesaiannya adalah duduk bersama dan saling berdialog dan berunding bersama. Sehingga, kita perlu memperbanyak forum-forum dialog di daerah-daerah yang kerap terjadi konflik dan kesalahpahaman di tengah masyarakatnya.

Salah satu sahabat Romo yang juga menjadi pelopor perdamaian di Jawa Tengah adalah KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus, Rembang). Beliau adalah ulama NU yang sangat santun, tutur katanya lemah lembut dan mampu membuat siapapun yang mendengarnya merasakan ketenteraman luar biasa.

Gus Mus dan Romo Budi merupakan dua sahabat yang sangat menginspirasi. Keduanya mengajarkan kita makna cinta kasih dalam perbedaan, persahabatan dalam keindonesiaan, dan harmoni persatuan dengan sebenarnya. Tauladan-tauladannya harus senantiasa kita tiru dan kita pertahankan.

*****

“..tetaplah berkasih sayang, di dalam kehidupan. Surga neraka, urusan Tuhan..”

Begitulah bunyi lirik lagu Ciptaan Gus Nuril Arifin yang pernah dicover dan diiringi menggunakan Saxophone oleh Romo Budi dalam video pembukaan kegiatan Srawung Persaudaraan Sejati Lintas Agama, 2018 lalu (kegiatan ini diinisiasi salah satunya oleh Keuskupan Agung Semarang untuk dialog lintas agama di kalangan anak muda).

Lirik tersebut memiliki makna yang sangat dalam dan sangat cocok dengan sosok Romo Budi. Ia selalu menyebarkan kasih sayang kepada semua makhluk, terutama kepada sesama manusia. Romo tak pernah hiraukan soal surga atau neraka, sepanjang yang saya kenali, Romo adalah pribadi yang terus berupaya memperjuangkan perdamaian di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Tengah.

Sebagaimana Rusdi Mathari menuliskan, ibadamu adalah urusanmu dengan Tuhan, sedangkan mereka yang kelaparan sepatutnya menjadi urusan kita bersama. Barangkali demikian pula yang menjadi acuan Romo. Bahwa permasalahan yang menyangkut ibadah adalah masalah privat. Yang perlu digelorakan adalah bagaimana supaya kita senantiasa gotong-royong untuk kemanusiaan, toleransi, perdamaian, dan untuk terus mempertahankan kesatuan dan persatuan anak bangsa hingga titik darah penghabisan.

Vinanda Febriani

Leave a Reply

Your email address will not be published.