free page hit counter
Memperkokoh Semangat Pembinaan Diri dan Persatuan Pemuda di Era Digital

Jakarta – Pemuda Agama Khonghucu Indonesia (PAKIN) melaksanakan pembukaan Kongres Nasional II berlokasi di Hotel Hariston Jakarta Utara pada Sabtu, (29/10). Dalam pembukaan ini, hadir Asisten Deputi Revolusi Mental Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia (Kemenko PMK) Katiman Kartowonowo, Ph.D, Ketua Umum MATAKIN Xs. Budi Santoso Tanuwibowo, Ketua Umum Perempuan Khonghucu Indonesia (Perkhin) Dq. Suryani, serta dihadiri oleh perwakilan pemuda lintas organisasi seperti Jaringan Gusdurian, Peradah, Gemabudhi, Baha’i, PMPI, Sekar Nusa, dan Gema INTI. Kongres ini diikuti oleh sebanyak 78 peserta dari 10 provinsi di Indonesia.

Bryna Meivitawanli selaku ketua komite kongres mengungkapkan bahwa dengan terselenggaranya Kongres Nasional ke-II ini, diharapkan mampu mendorong para pemuda agama Khonghucu untuk dapat mengikuti perkembangan zaman tanpa melupakan ajaran Nabi Khongzi untuk membina diri.

Dalam sambutannya, Ketua Umum MATAKIN Xs. Budi Santoso Tanuwibowo mengungkapkan bahwa Indonesia akan menghadapi berbagai problematika perkembangan zaman seperti pertentangan ideologi dan pemikiran yang semakin keras. Hal ini menurutnya dapat menyebabkan konflik senjata yang sama-sama tidak diinginkan. Akan tetapi menurutnya, kita bisa bersiap sejak sekarang sebab tanda-tandanya sudah mengarah kepada hal tersebut.

“Ketika dunia krisis energi, krisis pangan, dan semuanya berebutan pada sumber yang sama, sementara disparitas yang terjadi di dalam tubuh bangsa maupun di dunia internasional semakin tinggi,” katanya di podium.

Selain itu katanya, tantangan lain yang makin mengkhawatirkan adalah perubahan iklim ekstrim di Indonesia, ajaran leluhur yang mulai dilupakan oleh generasi muda, disrupsi teknologi, serta hubungan kekerabatan sosial antar anak bangsa yang semakin rentan di tubuh bangsa ini.

“Ini menyebabkan masa depan semakin buram, semakin tidak pasti,” kata Xs. Budi.

Tantangan-tantangan tersebut katanya, juga harus dijawab oleh Pakin melalui aksi-aksi nyata, tidak sekadar wacana.

“Tantangan tersebut harus juga dijawab oleh Pakin melalui aksi nyata, tidak hanya wacana. Karena saya lihat generasi muda kita hanya bisa berwacana, belum bisa sat-set. Hanya bisa bikin proposal, bikin wacana, lalu diam (tidak ada realisasinya).” lanjutnya.

Menurut pria tersebut, pemimpin yang dibutuhkan Indonesia ke depan adalah bukan hanya yang mempu bervisi, berwacana, melainkan harus yang bisa menggerakan dan siap beradu argumentasi, mempersuasi, dan membujuk supaya maju.

“Bukan hanya yang bisa beretorika, melainkan harus bisa bekerja sampai ke bawah,” kata dia.

Senada dengan yang disampaikan Xs. Budi, Asisten Deputi Revolusi Mental Katiman Kartowonowo, Ph.D mewakili Menko Pembangunan Manusia (PMK) mengatakan, kita sebagai generasi muda harus mengetahui bahwa pekerjaan yang mengandalkan keterampilan dasar akan hilang pada tahun 2030 dan akan digantikan oleh kompetensi atau pekerjaan baru yang berbasis teknologi informasi. Selain itu tambahnya, saat ini Indonesia sudah masuk ke era bonus demografi.

“Ini kalau Bapak Menko sering menjelaskan, kita sebenarnya sudah masuk ke era bonus demografi dan puncaknya tahun 2030. Bonus ini bisa terjadi kalau usia produktif sekarang, benar-benar produktif. Kalau itu tidak terjadi, maka tidak ada (bonus demografi), yang ada kerugian demografi,” katanya.

Pria itu melanjutkan, perlu upaya semua unsur untuk mendorong bagaimana bonus demografi benar-benar terjadi di Indonesia.

“Kami berharap Pakin memiliki peran yang strategis untuk pembekalan generasi yang lebih berkualitas, lebih inovatif, kritis, dan sebagainya. Kita berharap supaya Pakin berperan lebih aktif dalam mempersiapkan generasi muda kita, sehingga generasi emas sebagaimana kita harapkan benar-benar dapat emas,” katanya.

Tantangan ke depan dalam menjaga kerukunan dan toleransi makin berat. Maraknya konten-konten negatif yang dapat merusak konsensus dasar kebangsaan kita seperti ujaran kebencian, hoaks, hasutan kekerasan atas nama agama, serta radikalisme dan ekstrimisme yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

“Oleh sebab itu, perlu upaya sinergis dan kolaboratif untuk meningkatkan literasi keagamaan dalam ruang digital untuk menghadirkan nilai-nilai inklusif beragama,”

Selain itu, pihaknya juga beharap Pakin dapat mendukung dua aksi nyata yang diinisiasi Kemenko PMK dalam upaya menjaga Indonesia, seperti penanaman sejuta pohon serta program santun dan tertib bermedia.

“Karena kita hidup di dua dunia, yakni dunia nyata dan dunia maya, dunia maya kita diukur, seberapa besar tingkat keadaban kita. Ternyata menurut data Microsoft, kita ranking 29 dari 32 negara. Rangking terbawah lah, kita. Artinya, belum terlalu beradab lah kita di media sosial,” lanjut pria itu.

Selain itu katanya, 47 persen masyarakat Indonesia bermedsos untuk menyebarkan hoaks dan penipuan, 27 persen untuk menyebarkan ujaran kebencian, dan 13 persen untuk menyebarkan diskriminasi. Sehingga menurutnya, diperlukan upaya untuk mengubah konstruksi berpikir supaya masyarakat lebih beradab.

“Sehingga kita bekerjasama dengan pihak yang bisa mengembangkan platform, kita menginisiasi platform bernama ‘Gotong royong ilmu’ supaya yang mencari informasi valid dan tepat dari sumbernya, karena untuk membuat hoaks hanya perlu waktu satu menit, sedangkan untuk mengklarifikasi perlu waktu hingga 9 jam,” lanjut Katiman.

Padahal katanya, setiap hari ada ratusan bahkan ribuan hoaks. Sehingga perlu waktu yang luar biasa untuk memastikan bahwa informasi yang ada di medsos benar. Sehingga pihaknya berharap dalam kongres ini, dibahas pula bagaimana sebaiknya kontribusi Pakin dalam upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat supaya lebih santun dan beradab di media sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published.